REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron nampaknya tertarik untuk memainkan peran politik negaranya secara lebih dalam di Timur Tengah. Kali ini, Prancis mengatakan akan mendukung penyelesaian krisis di kawasan itu, salah satunya dengan mendukung mediasi atas Qatar, yang dilakukan oleh Kuwait.
Krisis di Timur Tengah terjadi setelah Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA) memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar pada Senin (5/6) lalu. Kemudian tiga negara lain, yaitu Yaman, Maladewa, dan Libya mengikuti langkah serupa.
Qatar dituding merusak dan memperburuk masalah regional Timur Tengah dengan menjadi pendukung kelompok yang disebut ekstrem, termasuk Ikhwanul Muslimin. Negara itu juga disebut mendanai, merangkul terorisme, ektremisme, serta organisasi sektarian yang dianggap berbahaya untuk keamanan kawasan tersebut.
Dengan pemutusan hubungan diplomatik, Arab Saudi saat ini telah menutup perbatasan antara negara itu dan Qatar. Jalur transportasi melalui darat, laut dan udara juga seluruhnya diblokade.
Selama ini, Qatar menjadi salah satu negara yang bergantung pada makanan impor. Tercatat pada 2015 lalu, Qatar mengimpor senilai hingga 1 triliun dolar AS dari Arab Saudi dan UEA.
Karena itu, dengan keputusan blokade, distribusi makanan bagi warga Qatar dikhawatirkan dapat terhenti. Beberapa saat setelah pemutusan hubungan diplomatik tersebut, banyak warga Qatar yang dilaporkan langsung berbelanja dalam jumlah besar untuk memasok makanan.
Selain penutupan jalur transportasi, pemutusan diplomatik dengan Qatar juga membuat warga dari negara itu yang menetap di Bahrain, Arab Saudi, dan UEA harus pergi. Mereka diberikan waktu selama dua pekan atau 14 hari sejak keputusan itu dikeluarkan, untuk meninggalkan negara-negara tersebut.
Amnesty Internasional melaporkan bahwa ada 6000 keluarga di negara-negara Teluk Arab yang memiliki anggota berasal dari Qatar. Hal ini dinilai hanya akan memperdalam krisis kemanusiaan dan menimbulkan masalah yang semakin rumit di Timur Tengah.