Jumat 18 Aug 2017 20:07 WIB

Jaksa Agung Baru Venezuela akan Penjarakan Pemimpin Unjuk Rasa

Ratusan orang menggelar aksi damai di berbagai kota di Venezuela sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan Presiden Nicolas Maduro.
Foto: EPA
Ratusan orang menggelar aksi damai di berbagai kota di Venezuela sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan Presiden Nicolas Maduro.

REPUBLIKA.CO.ID, BUENOS AIRES -- Venezuela akan memburu dan memenjarakan pemimpin demonstrasi kekerasan yang mengguncang negara itu sejak April, kata jaksa agung baru, Kamis (17/8), sehari sebelum undang-undang kebencian disetujui meskipun ada kekhawatiran bahwa itu akan digunakan untuk menghancurkan perbedaan pendapat.

Undang-undang baru itu yang melawan kebencian dan intoleransi, yang dikecam oleh kelompok hak asasi manusia sebagai tipuan yang ditujukan untuk menganiaya oposisi, akan disetujui pada Jumat oleh seorang pejabat tinggi legislatif yang terpilih bulan lalu atas perintah Presiden Nicolas Maduro.

Loyalis Presiden Nicolas Maduro, Delcy Rodriguez, kepala badan yang dikenal sebagai majelis konstituante, itu mengatakan bahwa undang-undang tersebut akan disahkan sebelum akhir pekan. Dia berbicara kepada majelis setelah pidato oleh jaksa penuntut Tarek Saab, yang ditunjuk oleh majelis awal bulan ini, yang bersumpah untuk melacak para pemimpin demonstrasi di mana lebih dari 120 orang telah tewas sejak awal April.

"Ini akan menjadi kehormatan bagi kantor kejaksaan untuk mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab atas setiap kejahatan kebencian yang terjadi di negara ini," kata Saab, mantan ombudsman Maduro, seraya berteriak saat berpidato di majelis.

"Kami akan memeriksa kamera, video, foto, kami akan mendapatkan gambar masing-masing untuk memastikan mereka membayar karena telah membunuh, karena telah menyakiti orang dan membuat anak-anak yatim piatu," katanya disambut tepuk tangan meriah oleh Partai Sosialis - yang mendominasi dewan.

Namun masyarakat internasional telah menunjuk jarinya ke pemerintah Maduro, bukan demonstran oposisi, sebagai pihak yang dituduh atas kematian tersebut.

Pasukan keamanan Venezuela dan kelompok pro-pemerintah diyakini bertanggung jawab atas kematian setidaknya 73 demonstran sejak April, PBB mengatakan dalam sebuah laporan 8 Agustus.

Penganiayaan terhadap pemrotes, termasuk penyiksaan, merupakan bagian dari "rincian peraturan hukum" di negara kaya minyak namun memiliki perekonomian buruk itu, kata laporan tersebut.

Mereka yang terbukti bersalah karena mengungkapkan kebencian atau intoleransi akan dihukum dengan hukuman 25 tahun penjara, menurut teks dalam undang-undang kebencian yang samar.

Kelompok-kelompok seperti Human Rights Watch mengatakan bahwa hal itu akan memberi kelompok pemerintah Maduro kartu as untuk membuat pemimpin oposisi tidak beredar menjelang pemilihan gubernur pada Oktober.

Oposisi, yang mendapat kontrol kongres pada tahun 2015 hanya untuk menerima jika keputusannya dibatalkan oleh Mahkamah Agung Mahuro, memboikot pemilihan majelis konstitusi. Badan tersebut memiliki kekuatan besar untuk menulis ulang konstitusi Venezuela dan bahkan memberi izin kepada Maduro untuk memerintah melalui dekrit.

Sementara itu, Mercosur, blok perdagangan Amerika Selatan, menangguhkan untuk waktu yang tak terbatas keanggotaan Venezuela, dengan menambahkan tekanan internasional atas Maduro untuk membubarkan majelis yang baru dibentuk itu dan memulihkan demokrasi. Majelis itu mengesahkan sebuah resolusi menolak secara simpatik aksi Mercusor.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement