Ahad 03 Sep 2017 08:35 WIB
Pembantaian Muslim Rohingya

Natalius Pigai: Jokowi Harus Belajar dari Sukarno

Rep: Santi Sopia/ Red: Agus Yulianto
Massa yang tergabung dalam Masyarakat Profesional Indonesia bagi Solidaritas Muslim Rohingya melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Myanmar, Jl Agus Salim, Jakarta, Sabtu (2/9).
Foto: Mahmud Muhyidin
Massa yang tergabung dalam Masyarakat Profesional Indonesia bagi Solidaritas Muslim Rohingya melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Myanmar, Jl Agus Salim, Jakarta, Sabtu (2/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis HAM yang juga Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mempertanyakan ketegasan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) terkait pembantaian Muslim Rohingya. Menurutnya, di saat suasana tragedi bangsa Muslim Rohingya, sangat naif jika Indonesia diam seribu bahasa.

Jokowi dinilai berpangku tangan, bahkan terkesan membiarkan tanpa intervensi kemanusiaan. Karena itu, ddia menyarankan, Jokowi belajar dari pengalaman Presiden RI pertama Ir Sukarno.

"Kalau Sukarno saja bisa meninggalkan persahabatan dengan Nehru India, mengapa Jokowi begitu takut terhadap Myanmar? Apakah Jokowi memang membawa agenda internasional untuk menghancurkan umat muslim? Mengapa (Jokowi) tidak bisa mengambil sikap tegas dengan memutuskan hubungan diplomatik," kata dia melalui siaran pers, Ahad (3/9).

Menurutnya, saat ini, Jokowi harus belajar dari  pengalaman Sukarno. Meskipun Sukarno dan Nehru adalah sahabat karib, bahkan India menyediakan tanah lima hektare untuk kantor kedutaan besar  di Canakyapuri, New Delhi, namun ketika perang India dan Pakistan 1965, Sukarno mengirimkan kapal perang angkatan laut membantu Pakistan karena solidaritas Islam. Bahkan Sukarno memusuhi Nehru yang sahabat karibnya. 

"Indonesia dinilai tidak mampu melakukan perang diplomatik dengan Myanmar. Seharusnya, Indonesia meningkatkan tekanan diplomatik untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan terhadap umat muslim oleh Pemerintah Myanmar," ujarnya. 

Padahal, kata dia, Indonesia menganut politik luar negeri yang secara aktif menciptakan perdamaian dunia. Menurut dia, Indonesia sebagai negara ASEAN juga sebagai negara Muslim terbesar dunia, tidak perlu takut mengambil risiko untuk menekan pemerintah Myanmar. 

"Sekali lagi pemerintah jangan takut tekan Pemerintah Myanmar hanya karena terikat dengan traktat Asean yang non intervensi urusan domestik," katanya.

Natalius mengatakan, semua negara di dunia ini memiliki kewajiban untuk melndungi kejahatan kemanusiaan sebagai tindakan yang tidak disukai umat manusia di dunia (Hostis humanis generis). Oleh karena itu, tidak ada yang salah kalau bangsa ini secara aktif berperan menciptakan perdamaian abadi di Myanmar Selatan.

Etnik Rohingya, kata dia, telah berabad-abad lamanya menempati teluk benggal. Di seberang barat wilayah kehidupan mereka dihuni oleh bangsa Bangladesh dan di Timur bangsa Burma.

Sebelum Burma merdeka 1942 oleh kerajaan Inggris, etnik Rohingya telah menghuni lama di wilayah rakhine yang sekarang disebut Rakhine state. Mereka adalah suku Benggal penghuni selatan dan penghuni utara suku bangsa austro Asia atau Thai Khadal yang kebanyakan menyebut suku bangsa Sino Tibetian.

Apa yang salah dengan mereka sehingga ribuan etnik Rohingya terusir dari negerinya, Rakhine State. Saat ini Ribuan manusia perahu menyeberangi samudera India, teluk Bengali dan laut Andaman yg terkenal ganas hanya untuk mencari hidup dan kehidupan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement