REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Selatan (Korsel) dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, pada Senin (4/9), telah menjalin komunikasi via telepon membahas uji coba nuklir terbaru Korea Utara (Korut). Keduanya sepakat terkait kemungkinan melakukan tindakan terberat dan pemberian sanksi maksimum terhadap Pyongyang.
"Presiden Moon dan Perdana Menteri Abe sepakat untuk melakukan tindakan terberat yang mungkin dilakukan terhadap Korut pada tingkat yang sama sekali berbeda dalam menanggapi uji coba nuklirnya yang terakhir dianggap paling kuat hingga saat ini," ungkap staf kepresidenan Korsel Cheong Wa Dae, seperti dilaporkan laman Yonhap.
Dalam panggilan telepon selama 20 menit tersebut, Moon mengatakan kepada Abe, ada kebutuhan untuk tindakan yang lebih substantif terhadap Korut. Moon menganjurkan agar diterbitkan sanksi terbaru untuk Korut. "Sanksi sampai ke tingkat maksimum sehingga Korut dapat membawa dirinya ke meja perundingan," ujarnya.
Moon dan Abe pun meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengatur dan mengkondisikan sanksi tambahan untuk Korut. Sebab menurut keduanya, Korut telah melakukan provokasi yang skalanya berbeda dengan sebelum-sebelumnya, sekaligus menjadi ancaman serius bagi masyarakat internasional.
Pada hari yang sama, Korsel juga menggelar latihan militer dalam rangka merespons uji coba nuklir Korut. Latihan ini bertujuan meningkatkan kemampuan untuk menyerang situs atau lokasi uji coba nuklir Korut di Pyunggye-ri. Dalam latihan ini, Korsel mengoperasikan rudal balistik Hyunmoo dan jet tempur F-15K.
"Latihan ini menunjukkan tekad militer Korsel untuk menghancurkan, tidak hanya asal usul provokasi, tapi juga kepemimpinan musuh dan pasukan pendukung jika mereka mengancama keamanan rakyat kita," ujar juru bicara JCS Kolonel Roh Jae-cheon.
Pada Ahad (3/9), Korut telah berhasil menguji bom hidrogen yang akan dipasang di rudal balistik antarbenua miliknya. Uji coba bom tersebut sempat menyebabkan guncangan hebat berkekuatan 6,2 skala richter yang getarannya terasa hingga Jepang dan Rusia.