REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin menolak salah satu gagasan sanksi yang diberikan kepada Korea Utara (Korut) yaitu dengan mengurangi pasokan minyak ke negara tersebut. Ia menilai, hal itu bukanlah suatu yang efektif dan justru memperparah kondisi bagi warga sipil.
"Saya khawatir jika gagasan ini justru berdampak kepada orang-orang tidak bersalah, seperti warga sipil di negara itu yang terkena dampak besar karena tindakan tersebut," ujar Putin seperti dilansir USA Today, Rabu (6/9).
Komentar Putin datang menyusul gagasan yang datang dari salah satu negara anggota Dewan Keamanan PBB untuk memberi sanksi tersebut.
Sanksi ekonomi yang lebih keras untuk Korut dianggap dapat menekan rezim pemerintahan negara itu, sehingga nantinya mereka harus melakukan perundingan untuk menghentikan program nuklir yang kontroversial.
Korut kembali memicu kemarahan internasional dengan uji coba bom hidrogen yang dilakukan pada Ahad (3/9) lalu. Negara yang dipimpin Kim Jong-un itu mengklaim melakukan tes terbaru dari alat peledak tersebut yang dirancang untuk ditempatkan dalam Peluru Kendali Balistik Antar Benua (ICBM).
Negara terisolasi itu menuturkan, tes bom hidrogen tersebut menjadi yang keenam kalinya dilakukan sejak 2006. Korut dapat mengklaim kesuksesan besar, karena kali ini persenjataan nuklir mereka berkembang dan memiliki kemampuan dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya.
Dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB untuk membahas masalah nuklir Korut pada Senin (4/5) lalu, AS sebagai salah satu negara anggota tetap mengatakan tindakan keras diperlukan mengatasi hal ini.
Melalui Duta Besar Nikki Haley, pihaknya mendesak sanksi paling kuat harus diberikan dan ia hendak mengedarkan resolusi terbaru untuk memenuhi langkah itu.