Kamis 14 Sep 2017 03:50 WIB

Sekjen PBB: Krisis Rohingya adalah Bencana Kemanusiaan

Rep: Sri Handayani / Red: Reiny Dwinanda
Bocah Rohingya menyusuri jalan berlumpur menuju pengungsian dengan pakaian seadanya di Teknaf, Bangladesh
Foto: Abir Abdullah/EPA
Bocah Rohingya menyusuri jalan berlumpur menuju pengungsian dengan pakaian seadanya di Teknaf, Bangladesh

REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan Muslim Rohingya di Myanmar kini menghadapi situasi bencana kemanusiaan. Serangan yang diduga dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar kepada warga Rohingya sangat tak bisa diterima. 

PBB juga menuntut agar tindakan militer dihentikan sementara.

Tentara Myanmar mengatakan mereka sedang bertempur melawan gerilyawan. Mereka membantah telah menarget warga sipil.

Sebanyak 390 ribu warga Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh sejak kekerasan berlangsung bulan lalu. Seluruh perkampungan terpantau telah dibakar.

BBC melaporkan, etnis Rohingya merupakan kaum minoritas Muslim yang hidup di tengah penganut Buddha di Rakhine. Mereka telah lama mengalami persekusi di Myanmar. 

Otoritas negara tersebut menyebut mereka sebagai imigran ilegal. Mereka tinggal di Myanmar, yang dulu dikenal dengan nama Burma, dari generasi ke generasi, namun tidak diakui sebagai warga negara.

Dewan Keamanan PBB melakukan pertemuan pada Rabu (13/9) lalu untuk mendiskusikan krisis tersebut. Namun, pemimpin defacto Myanmar Aung San Suu Kyi dipastikan tak datang dalam debat penting pertama pekan depan di Majelis Umum PBB.

Meski demikian, Suu Kyi akan menyampaikan pandangannya melalui siaran stasiun televisi nasional pada 19 September, tepat di hari pertemuan Majelis Umum. Pejabat Myanmar mengatakan Suu Kyi akan berbicara tentang rekonsiliasi nasional dan perdamaian.

Suu Kyi telah dikritik oleh mantan pendukungnya di Barat. Ia dianggap gagal mencegah kekerasan di negara bagian Rakhine.

Divisi pengungsi PBB mengatakan tak cukup bantuan didapat oleh para pengungsi Rohingya di Bangladesh. Guteres mengajak komunitas internasional untuk memberikan bantuan.

"Situasi kemanusiaan ini adalah bencana," kata dia.

Pekan lalu, jumlah pengungsi Rohingya di Bangladesh mencapai125 ribu. jumlah itu kini telah mencapai tiga kali lipat hingga hampir 380ribu. Banyak dari mereka tinggal di penampungan sementara atau bersama masyarakat yang berbaik hati berbagi. Namun, anak-anak dan perempuan datang dalam kondisi lapar dan kurang gizi.

Ketika ditanya apakah ini merupakan pembersihan etnik, Guteres mengatakan, "Sepertiga populasi (Rohingya) telah meninggalkan Myanmar adakah kata lain untuk menjelaskannya?"

Baca juga: Banyak Rohingya Terjebak di Wilayah Perbatasan tak Bertuan

Guteres mengatakan ia mengecam serangan yang dilakukan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), kelompok pemberontak yang melawan pemerintah. Namun, di lain sisi, ia mengatakan tindakan militer juga harus dihentikan sementara dan mereka yang mengungsi diperbolehkan kembali ke rumah.

Gelombang pengungsi terbaru dimulai 25 Agustus lalu,mengikuti serangan oleh militan Rohingya ke pos polisi dan tentara. Para pengungsi mengatakan pasukan Myanmar merespons serangan itu dengan serangan brutal dan pembakaran kampung untuk mengusir para warga.

Utusan Myanmar untuk PBB menyalahkan gerilyawan Rohingya atas kekerasan di Rakhine. Mereka mengatakan negaranya tidak akan menolerir kekejaman itu. Juru bicara pemerintah Zaw Htay mengatakan 176 desa Rohingya, lebih dari 30 persen total desa di Rakhine Utara kini telah kosong.

Meskipun akses ke negara bagian Rakhine sangat terkendali, wartawan BBC Jonathan Head merupakan satu dari sedikit jurnalis yang diikutsertakan dalam tur pemerintah baru-baru ini. ia menyaksikan desa-desa Muslim dibakar dan polisi tak melakukan apapun untuk menghentikannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement