REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Ketika Grace Jo berjalan kaki di sepanjang jalan di Montgomery College, Rockville, Maryland, dia tidak terlihat berbeda dengan mahasiswa AS lainnya. Namun siapa sangka gadis berusia 26 tahun ini membawa kenangan pahit di bawah teror rezim Korea Utara (Korut) ke kehidupan barunya di AS.
"Amerika adalah negara terhebat di dunia," kata Grace kepada Fox News, sebelum menghadiri forum bertajuk "The Spirit of Liberty: At Home, In the World" yang diadakan George W. Bush Institute di New York, Rabu (18/10).
Forum yang fokus pada kebebasan, pasar bebas, dan keamanan itu akan dihadiri oleh mantan Presiden AS George W. Bush. Sementara, pembicara yang akan hadir adalah mantan Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice, Madeline Albright, dan Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley.
Kepada mereka, Grace akan menyampaikan cerita seorang wanita muda yang memiliki tekad kuat untuk keluar dari rezim Kim Jong-un. "Rezim Korea Utara seharusnya tidak ada lagi di dunia ini, kekuatan militer pemerintah AS, atau kekuatan independen lainnya harus menghentikan rezim Korea Utara, karena rezim tersebut membunuh orang-orang yang tidak bersalah di negaranya. Anak-anak, bayi, dan Ibu yang sekarat tidak memiliki harapan," ujar Grace.
Grace adalah penerima program Beasiswa Kebebasan Korut yang dijalankan oleh George W. Bush Institute. Institut tersebut menggalang dana 25 ribu dolar AS untuk membantu delapan anak muda yang melarikan diri dari Korut.
Anak-anak muda itu bertekad untuk mengejar pendidikan tinggi, dan membangun kehidupan yang produktif dan sejahtera sebagai warga negara baru AS. Studi mereka di universitas mulai dari teologi dan kedokteran, hingga engineering.
Impian Grace menjadi kenyataan di Amerika, berbeda dengan mimpi buruk yang pernah dia alami di Korut. Grace mengatakan, dia dan keluarganya melarikan diri tiga kali ke Cina, dan selalu berhasil ditangkap kembali ke Korut.
Dua adik laki-lakinya meninggal dunia karena kelaparan, sementara ayahnya tewas karena disiksa saat berada di tahanan karena menyelundupkan sekantong beras dari Cina. Menurut Grace, kelaparan mulai merajalela saat dia tumbuh dewasa dan bahkan keluarganya harus mengemis sekantong kentang dari pemerintah.
Dia ingat keluarganya tinggal selama 10 hari tanpa makanan dan bertahan hanya dengan meminum air. Saat itu, ibunya menemukan enam bayi tikus di sebuah ladang dan neneknya membuat sup dari tikus-tikus itu untuk dimakan.,"Kami hampir menyerahkan hidup kami, tapi ini semacam keajaiban, sebuah keajaiban terjadi pada keluarga saya untuk bisa bertahan hidup," ungkapnya.
Dia mengatakan, saat kecil dia diajari untuk selalu membungkuk d ihadapan potret pendiri Korut Kim Il-sung dan kemudian penggantinya, Kim Jong-il. Mereka adalah kakek dan ayah dari diktator Kim Jong-un yang memimpin Korut saat ini.
"Saat Tahun Baru, pemerintah akan memberi kami, anak-anak kecil, tas hadiah berisi kue dan permen dan kami akan menyimpan tas itu di depan kami, lalu kami membungkuk ke potret mereka tiga kali. Jadi saya harus tunduk pada potret pemimpin dan saya harus berterima kasih kepada mereka kapanpun," jelas Grace.
Grace mengatakan, setelah melarikan diri dia sempat ditangkap dan dijebloskan ke penjara pusat intelijen Korut. "Saya melihat agen Korea Utara menyiksa orang dewasa di sana dan meneriaki mereka, itu adalah tempat yang menakutkan. Hari sudah gelap dan tidak ada lampu, ruangan kecil yang diisi banyak orang itu di malam hari begitu banyak serangga yang berjalan di dinding, jadi sangat menakutkan," kata dia.
Grace akhirnya tiba di AS pada 2008 bersama ibu dan saudara perempuannya, sebagai pengungsi di bawah UNHCR. Dia menjadi warga negara AS pada 2013 dan bersyukur George W Bush Institute membuka beasiswa untuk remaja Korut.
"Ini adalah masalah yang sangat dekat dengan hati Presiden Bush," kata Lindsay Lloyd, Wakil Direktur Prakarsa Kebebasan Manusia di George W Bush Institute.
Bush Institute mulai memusatkan perhatian pada isu Korut pada 2014. Institut ini mencari cara untuk membantu masyarakat Korut di AS, yang jumlahnya sangat kecil. Lloyd mengatakan, ada sekitar 250 pengungsi dan 300 sampai 400 warga Korut lainnya yang tinggal di AS.
Banyak yang membutuhkan bantuan untuk tidak hanya menyesuaikan diri dengan budaya baru, tapi juga berasimilasi ke dalam kehidupan Amerika. "Salah satu hal yang sangat menonjol adalah pentingnya pendidikan, semuanya mengenal manfaat pendidikan. Kami bekerja sama dengan komunitas Korea-Amerika untuk mengumpulkan uang dan meluncurkan program beasiswa pada Januari," ujar Llyod.
Meski sangat bersyukur dengan hidupnya sekarang, Grace tidak melupakan penduduk lain di negara asalnya. Ia menyuarakan isu hak asasi manusia di tengah ancaman nuklir Kim Jong-un. "Semua orang sedang sekarat di sana. Mereka menderita di Korea Utara. Tolong pikirkan anak-anak yang sekarat di sana yang hidup tanpa harapan," ungkapnya.
Dari pengalamannya, ia mengaku kekerasan adalah satu-satunya hal yang dipahami oleh rezim Kim Jong-un. "Saya yakin rezim Korea Utara tidak akan mendengarkan jika kita berbicara dengan baik-baik, jadi saya pikir sekarang saatnya untuk melakukan tindakan kepada pemerintah Korea Utara, karena jika kita hanya mengucapkan kata-kata dan mencoba memberikan sesuatu kepada mereka, seperti memberi permen kepada anak kecil yang menangis, tentu tidak akan bisa memberi solusi jangka panjang," jelasnya.
Meski demikian, Grace tidak berpikir serangan militer layak dilakukan terhadap Korut. Ia berharap AS dan sekutu-sekutunya dapat melakukan tindakan rahasia yang akan mengarah pada penggulingan rezim tersebut "Saya tidak ingin ada bom yang dijatuhkan," katanya.