REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) James Mattis mengatakan, ia tidak dapat membayangkan AS mau menerima program nuklir Korea Utara (Korut). Ia juga memperingatkan bahwa program nuklir Korut dan rudalnya yang terus maju akan merusak keamanan negara tersebut, bukan malah memperkuat keamanannya.
Mattis sangat menderita dalam perjalanan selama seminggu ke Asia untuk menekankan bahwa diplomasi adalah pilihan Amerika. Ia memperingatkan Pyongyang jika militernya tidak setara dengan aliansi AS dan Korea Selatan.
Diplomasi itu paling efektif ketika didukung oleh kekuatan militer yang kredibel. "Jangan membuat kesalahan dengan melakukan serangan ke Amerika maupun sekutunya sebab akan kalah. Penggunaan senjata nuklir apa pun oleh Korea Utara akan disambut dengan respons militer besar-besaran yang efektif dan luar biasa, " kata Mattis, Sabtu, (28/10).
Menurut Mattis, perilaku pemimpin Korut Kim Jong Un tidak memberi banyak waktu bagi AS untuk menerima status nuklir Pyongyang. "Saya tidak bisa membayangkan sebuah kondisi di mana Amerika dapat menerima Korut sebagai negara dengan tenaga nuklir," ujar Mattis.
Menteri Pertahanan Korea Selatan Song Young Moo menolak gagasan untuk mengerahkan senjata nuklir taktis ke semenanjung tersebut sebagai tanggapan terhadap kemajuan senjata nuklir Korut. Menurut Song, aliansi AS dan Korsel memiliki kemampuan untuk merespons, bahkan jika terjadi serangan nuklir dari Korut.
Ketegangan antara Korut dan Amerika semakin parah sejak serangkaian uji coba nuklir dan rudal oleh Pyongyang. Ketegangan juga meningkat akibat perang mulut antara pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump.
CIA mengatakan Korut hanya membutuhkan waktu beberapa bulan untuk mengembangkan kemampuan senjata nuklir yang bisa menyerang negara Paman Sam tersebut, sebuah skenario yang akan dicegah Trump. Trump mengancam akan menghancurkan Korut jika perlu.
Ia berangkat dalam lawatan pertamanya sebagai presiden ke Asia minggu depan, termasuk akan berhenti di Korsel untuk bertemu dengan Presiden Moon Jae In.