Kamis 09 Nov 2017 09:09 WIB

Lebanon Jadi 'Rebutan' Saudi dan Iran

Rep: Marniati/ Red: Teguh Firmansyah
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri di Riyadh pada Senin (6/11).
Foto: SPA
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri di Riyadh pada Senin (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Mundurnya Saad Hariri sebagai perdana menteri Lebanon dapat menyebabkan krisis yang meluas di negara tersebut. Krisis melibatkan Iran maupun Arab Saudi yang saling berebut pengaruh di negara itu.

Seperti dilansir dari Aljazirah, Kamis (9/11), Hariri berhenti dalam pidato di televisi saat di Arab Saudi pada Sabtu. Ia baru 11 bulan memasuki tugas keduanya sebagai perdana menteri.

Hariri menyalahkan Iran karena menyebabkan kekacauan dan penghancuran di Lebanon. Dia menyerang Hizbullah, sekutu utama Iran di negara tersebut. Ia juga mengaku hendak dibunuh.

Namun, kelompok Hizbullah menolak alasan yang diberikan Hariri. Sebagai akibat dari pengunduran diri Hariri, pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah mengungkapkan ketidakpercayaannya pada pidato Hariri dan menuduh Riyadh memaksanya untuk mengundurkan diri.

"Pengunduran dirinya adalah perintah Saudi, memaksanya dan bukan keinginan atau keinginannya. Kami tahu bagaimana pembicaraan Perdana Menteri Hariri dan ungkapan politiknya, ini tidak seperti dia," kata Nasrallah.

Dua hari sebelum pengunduran dirinya, Hariri diketahui bertemu Ali Akbar Velayati, seorang mantan menteri luar negeri Iran yang berpengaruh dan dekat dengan pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khameini.

Terlepas dari keadaan pengunduran diri tersebut, Lebanon harus menghadapi kenyataan rumit untuk menemukan pengganti Hariri dan mencegah runtuhnya pemerintah. Menurut konstitusi Lebanon, kantor perdana menteri harus dipegang oleh seorang Suni.

Kesulitan bagi Hizbullah adalah menemukan seorang politisi Suni, yang bersedia menanggung risiko kemarahan masyarakat dengan mengambil peran perdana menteri dan seseorang yang dapat bekerja dengan kelompok itu sendiri.

Seorang analis politik di Universitas Amerika Lebanon,Halim Shebaya mengatakan Hizbullah akan kesulitan menemukan politisi Sunni untuk mengambil alih jabatan tersebut tanpa dukungan dari Arab Saudi. "Meskipun ada beberapa pemimpin Sunni yang kurang menonjol yang dekat dengan partai tersebut, ini akan menjadi pertaruhan besar untuk terus melakukan tindakan semacam itu karena kemungkinan akan meningkatkan ketegangan, dengan kemungkinan menyaksikan demonstrasi jalanan," katanya.

Menurut Shebaya pilihan satu-satunya adalah pemerintahan teknokratis yang dapat dipimpin oleh mantan perdana menteri Najib Mikati atau Tammam Salam dengan tujuan untuk membawa Lebanon maju dalam pemilihan pada musim panas mendatang.

Baca juga, Terancam Dibunuh, Saad Hariri Mundur dari PM Lebanon.

Tapi Shebaya mengatakan skenario seperti itu tidak mungkin terjadi saat ini. "Kami belum mengetahui apapun pasti karena kami masih menunggu Hariri kembali ke Lebanon, namun tampaknya Lebanon akan menyaksikan sebuah krisis pemerintahan yang diperpanjang kecuali upaya mediasi sukses. " tambahnya.

Krisis politik di Lebanon terjadi di tengah memburuknya hubungan antara Arab Saudi dan Iran, kedua negara yang memiliki kepentingae finansial dan politik di negara tersebut. Arab Saudi menyalahkan Iran karena memasok pemberontak Houthi di Yaman dengan rudal balistik yang dicegat di utara Riyadh pada Sabtu, sebuah insiden yang digambarkan oleh Saudi sebagai tindakan perang. Kemarahan tersebut meluas ke sekutu Iran Hizbullah dan ke Lebanon.

Menurut analis akademis dan Timur Tengah Leiden, Christian Hendersonkurangnya dukungan Saudi membuat kompromi politik menjadi lebih sulit. "Saudi telah memainkan kartu truf mereka dalam beberapa hal, dan mereka pasti berisiko terlalu banyak bermain tangan, karena sekarang pertanyaannya adalah apa lagi yang harus dilakukan?" Kata Henderson.

Ia mengatakan salah satu cara utama Arab Saudi untuk menekan Lebanon adalah dengan menarik uang dari sistem perbankan negara tersebut. Namun langkah tersebut mungkin akan menciptakan lebih banyak tempat bagi Iran untuk memberikan pengaruh dengan bantuan keuangan.

Iran pada bagiannya telah mengadopsi nada damai di Lebanon dan Presiden Hassan Rouhani telah berjanji untuk tidak membiarkan negara tersebut menjadi arena konflik. "Iran akan selalu berdiri di samping rakyat Lebanon dan tidak akan menyisihkan upaya untuk berkontribusi dalam mengkonsolidasikan stabilitas dan ketegasan Lebanon," kata presiden Iran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement