Senin 20 Nov 2017 12:58 WIB

Korban Pemerkosaan Tentara Myanmar Ungkap Kegetiran Kisahnya

Remaja Rohingya, Noor (18 tahun) mengaku mengalami perkosaan beramai-ramai oleh tentara Myanmar.
Foto:

Seorang remaja putri lainnya yang berusia 18 tahun, Shamsida, berasal dari desa di dekat Maungdaw mengisahkan cerita mengerikan lainnya. "Tentara datang ke desa kami, saya bersama dua gadis lainnya dibawa ke sekolah," katanya.

Dia ditodong pisau di tenggorokannya. "Tiga orang tentara membawa kami ke tiga ruangan terpisah, lalu mereka memperkosa kami," kata Shamshida.

Shamsida yang belum menikah, mengaku takut rasa malu atas apa yang dialaminya itu tidak terhapuskan dan membuatnya tidak diinginkan selamanya. "Saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Itu akan menjadi masalah? Orang akan membicarakannya?" ujarnya.

Wanita Rohingya lainnya dipaksa menghadapi konsekuensi lebih cepat, kehamilan akibat pemerkosaan. Meskipun aborsi ilegal di Bangladesh, namun dokter dapat menyetujuinya dalam keadaan yang sangat khusus.

Beberapa pekerja kemanusiaan yang meminta tak disebutkan namanya menjelaskan ke ABC mengenai pengguguran kandungan sejumlah korban pemerkosaan. Mereka menjelaskan adanya kebutuhan mendesak bagi konselor perempuan untuk menghadapi korban trauma.

"Itulah mengapa (pemerkosaan) ini jadi cara efektif untuk menyerang seseorang," kata peneliti Human Rights Watch (HRW) Skye Wheeler.

"Bukan saja menyebabkan mereka terluka dan takut, tapi menyebabkan mereka dalam keadaan sedih, terluka," katanya.

Unmarried, Shamshida fears the violation will render her unwanted.
Shamshida yang belum menikah, ketakutan perkosaan yang dialaminya membuatnya tak diinginkan.

ABC News: James Bennett

"Saya minta keadilan"

Wheeler dari HRW telah mewawancarai lebih 52 perempuan Rohingya dari 19 desa. Dari 29 yang mengalami perkosaan, hanya satu orang yang tidak diperkosa beramai-ramai.

Laporan HRW semakin membuktikan pemerkosaan massal menjadi komponen kunci dalam penganiayaan terhadap warga Rohingya oleh militer Myanmar. PBB menyebutnya pembersihan etnis.

"Inilah salah satu cara bagaimana pembersihan etnis itu dilakukan," katanya seraya menambahkan bahwa ingatan traumatis sering menyulitkan wanita yang jadi korban merasa aman di tempat kejadian, sehingga upaya pemulangan menjadi lebih sulit.

Pramila Patten, pelapor khusus PBB mengenai kekerasan seksual dalam konflik, pekan lalu menjelaskan "kekerasan seksual tu diperintahkan, diatur dan dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Myanmar".

Patten bertekad mengangkat masalah ini dengan Pengadilan Pidana Internasional. Namun Myanmar bukanlah negara penandatangan perjanjian Pengadilan Pidana Internasional, sehingga penyelidikan apa pun akan memerlukan dukungan penuh dari Dewan Keamanan PBB. Namun hal ini dianggap tidak mungkin.

Myanmar terus menyangkal adanya kekejaman yang terjadi atas warga Rohingya.

Meskipun kecaman dunia semakin keras, masyarakat internasional enggan memberlakukan sanksi atau embargo senjata, karena khawatir pemasok dan investor utama Cina akan mendukung Myanmar sehingga memperkuat pengaruhnya dan merusak upaya negara-negara Barat dalam mendorong demokrasi.

Tapi hal itu tidak mungkin bisa dijelaskan kepada Shamshida. "Saya minta keadilan. Saya ingin masyarakat dunia menghukum mereka," katanya.

Bagaimana Anda bisa melakukan donasi melalui Myanmar-Bangladesh Appeal.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/berita/korban-perkosaan-tentara-myanmar-ungkap-kisahnya/9168750
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement