REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Bagai mendapat angin segar, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menghubungkan insiden ledakan bom di New York dengan kebijakan pembatasan imigrasi, Senin (11/12). Beberapa jam setelah insiden, Trump menegaskan identitas pelaku yang merupakan seorang imigran asal Bangladesh.
Ia kembali mengingatkan pada rencana kebijakan untuk membatasi aliran imigran. Termasuk imigrasi karena hubungan keluarga. "Pelaku teror hari ini masuk ke AS karena rantai migrasi keluarga, ini tidak sesuai dengan keamanan nasional," kata dia.
Sebelumnya, Juru bicara Gedung Putih, Sarah Huckabee Sanders, mengatakan kebijakan Trump seharusnya bisa mencegah insiden Senin. Kurang dari dua bulan lalu, delapan orang tewas karena serangan truk di dekat World Trade Center. Pelakunya seorang imigran asal Uzbekistan.
Sejak 1965, kebijakan imigrasi Amerika telah melahirkan banyak kesempatan bagi penduduk asing untuk masuk ke sana. Mereka yang diutamakan masuk adalah yang ingin mengembangkan ilmu, pendidikan, keahlian dan lainnya.
Mereka biasanya masuk AS karena telah memiliki keluarga. Imigran yang telah jadi permanent resident bisa mengajukan izin tinggal untuk keluarganya, baik pasangan, orang tua, anak, saudara kandung.
Pemerintah Trump berusaha membatasi sistem imigrasi untuk pasangan dan anak. Pelaku serangan Senin (11/12), Akayed Ullah diketahui tinggal bersama ayah, ibu dan saudara kandungnya di Brooklyn.
Di sana, ada komunitas Bangladesh yang mendominasi wilayah. Menurut sumber kepolisian, Ullah terpapar propaganda ISIS di internet. Ia mengaku terinspirasi oleh kelompok teror ini.