Rabu 27 Dec 2017 17:54 WIB

Kebencian yang Mengakar di Myanmar Terhadap Muslim Rohingya

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agus Yulianto
Seorang pengungsi muslim Rohingya bersama anaknya tertahan di perbatasan, setelah tentara Bangladesh melarang mereka bergerak menuju kamp pengungsian di Palong Khali, Bangladesh, Selasa (17/10).
Foto: AP/Dar Yasin
Seorang pengungsi muslim Rohingya bersama anaknya tertahan di perbatasan, setelah tentara Bangladesh melarang mereka bergerak menuju kamp pengungsian di Palong Khali, Bangladesh, Selasa (17/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Myawady Sayadaw, seorang rahib berjubah merah yang matanya menari di balik kacamata bundar, menjadikan dirinya sebagai pejuang yang hebat dalam perjuangan panjang Myanmar melawan kekuasaan militer.

Di dalam biaranya, ada sebuah monumen batu tinggi bagi para siswa yang terbunuh dalam demonstrasi pro-demokrasi. Pada 2007, dia dan puluhan ribu biksu berbaris dengan damai di jalanan di seluruh negeri, menatap ke bawah jajaran tentara dalam apa yang dijuluki sebagai 'Revolusi Saffron'.

Kini, militer telah menghasilkan sejumlah kekuasaan bagi pemerintah terpilih. Sayadaw menekankan, khotbahnya dengan referensi mengenai hak asasi manusia dan pemahaman antaragama. Namun, ketika sampai pada isu politik Myanmar yang paling eksplosif, yakni pembersihan yang dilakukan gerilyawan yang dipimpin tentara terhadap Muslim Rohingya, sang biksu yang vokal itu menjadi pendiam.

"Buddha mencintai semua orang dan mengajarkan kita untuk mencoba menyelesaikan penderitaan, tapi kita memiliki kewajiban untuk melindungi negara kita pada saat bersamaan. Sebagian besar Muslim, adalah ekstremis," kata Sayadaw di sebuah vihara sederhana di luar kota Mandalay utara, dilansir dari Los Angeles Times, Rabu (27/12).

Di Myanmar, yang sebelumnya dikenal dengan nama Burma, kebencian terhadap Rohingya berjalan jauh lebih dalam daripada ketakutan akan terorisme Islam, yang telah digunakan tentara untuk membenarkan tindakan kekerasan yang kejam selama empat bulan di negara bagian Rakhine di bagian barat Myanmar. Tentara telah membunuh, memperkosa dan melukai ribuan orang Rohingya.

Menurut kelompok hak asasi manusia internasional, lebih dari 640 ribu orang telah melarikan diri dan menyeberangi perbatasan ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Antipati terhadap minoritas Muslim kecil, di negara yang 90 persen beragama Budha, itu adalah kejahatan yang bergolak dari segi etnik, ekonomi, agama, dan nasionalisme yang diumumkan selama puluhan tahun oleh militer. Mereka dengan mudah menebarnya melalui media sosial di seluruh penduduk dengan beberapa diantaranya dari kalangan tingkat pendidikan terendah di Asia Tenggara.

Perasaan antipati itu dibangun secara fundamental pada perbedaan rasial. Rohingya, yang ditolak kewarganegaraannya di Myanmar, secara fisik dan kultural lebih mirip dengan penduduk Bangladesh dan India daripada mayoritas etnis Bamar di Myanmar. Para cendekiawan mengatakan, mereka adalah keturunan dari pedagang Arab dan Persia yang tiba di bagian barat Myanmar pada lebih dari 1.000 tahun yang lalu.

Perbedaan tersebut telah mendorong desakan yang mendalam melalui negara yang berpenduduk 50 juta itu. Dari semua rahib, aktivis mahasiswa, gerilyawan etnis dan pembangkang lainnya yang pernah menentang pelanggaran tentara, hampir tidak ada yang berbicara untuk orang-orang yang paling banyak dikepung negara ini.

Direktur pada Center for Youth and Social Harmony (sebuah organisasi nirlaba Myanmar), Thet Swe Win, mengatakan, bahwa semua aktivis demoktratis tersebut memiliki prasangka atau sikap berontak saat berbicara tentang hak asasi manusia dan hak warga negara. Namun, sebaliknya, soal Rohingya mereka semua bungkam. "TIdak ada orang yang berada di pihak Rohingya. Itulah tragedi di sini," kata Swe Win.

Selama bertahun-tahun, tentara Myanmar telah mengumpulkan umat Buddha dengan mengklaim adanya sebuah plot Muslim untuk mengambil alih negara tersebut. Hal itu tertulis ulang dalam undang-undang kewarganegaraan yang misterius di negara itu untuk menyingkirkan Rohingya. Secara rutin, mereka mengesampingkan para biksu garis keras yang memuntahkan kebencian kepada umat Islam.

Propaganda tersebut tampaknya diumumkan setelah sebuah kelompok pemberontak kecil bernama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) bangkit tahun lalu dan mulai menyerang pasukan keamanan Myanmar. Kini, para biksu seperti Myawady Sayadaw dengan bebas mendamaikan ajaran tanpa kekerasan Buddha dengan serangan militer. Yang mana beberapa orang memanggil kemungkinan adanya genosida.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement