REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki akan menjadi tuan rumah pertemuan trilateral tentang krisis Suriah. Pertemuan yang diadakan Rabu (4/4) ini akan dihadiri oleh presiden Turki, Rusia dan Iran.
Dilansir Aljazirah, Rabu (4/4), Presiden Rusia Vladimir Putin tiba di Ankara pada Selasa, diikuti oleh Presiden Iran Hassan Rouhani di malam harinya. Ini kali keduanya ketiga pemimpin ini membahas situasi Suriah. Pembahasan pertama dilakukan November lalu.
Iran dan Rusia mendukung pemerintah Suriah. Sedangkan Turki mendukung oposisi moderat. Mereka telah melakukan kerja sama yang erat melalui serangkaian pembicaraan yang ditujukan untuk mencari solusi bagi konflik Suriah sejak tahun lalu.
Zona de-eskalasi telah disepakati di antara tiga kekuatan di Suriah sebagai hasil dari beberapa pembicaraan sepanjang 2017. Pembicaraan sebelumnya terjadi di kota Rusia, Sochi dan Astana, ibukota Kazakhstan.
Secara terpisah, hubungan Turki-Rusia telah semakin baik. Kedua belah pihak menutup kesepakatan pada Desember 2017 bagi Ankara untuk membeli sistem pertahanan rudal udara S-400. Rusia juga telah membangun pembangkit listrik tenaga nuklir pertama Turki.
Pimpinan departemen hubungan internasional di Universitas Kultur di Istanbul,Mensur Akgun mengatakan ketiga negara tersebut secara bertahap menjadi lebih dekat karena isu Suriah. Ini sebagai bentuk dari keinginan mereka untuk menyelesaikan krisis.
"Karena para aktor berpengaruh di Suriah, tidak satu pun dari ketiga negara itu yang tertarik dengan kelanjutan krisis dan kehadiran serta pengaruh AS di negara yang dilanda perang itu," kata Akgun.
Ia mengatakan ketiga negara tersebut mencoba mencari jalan keluar meskipun terdapat perbedaan. Menurutnya saat ini kepentingan ketiga negara tumpang tindih karena pandangan mereka tentang kehadiran YPG di Suriah.
"Meskipun Rusia agak enggan untuk memberikan kartu truf [dukungan YPG] ke AS, tampaknya telah memilih Turki atas YPG seperti yang kita lihat dalam hasil operasi di Afrin," kata Akgun.
Sementara itu seorang analis politik Lebanon,Tewfik Shuman mengatakan upaya-upaya baru untuk menyelesaikan krisis Suriah harus mempertimbangkan realitas baru di lapangan. "Itu adalah kerugian terakhir oposisi dan peran Turki di Suriah utara. Ini mengikuti kesepakatan yang melibatkan pertukaran Ghouta Timur untuk Turki memasuki Afrin," katanya
Pasukan pemerintah Suriah dilaporkan semakin dekat mengambil alih kubu oposisi Ghouta Timur. Menurut media pemerintah, pemberontah telah mengungsi dari daerah dekat ibukota Damaskus.
Perebutan wilayah pinggiran Damaskus akan menandai perkembangan besar dalam upaya Presiden Bashar al-Assad merebut kembali wilayah yang direbut dalam perang sipil tujuh tahun tersebut. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengutuk krisis kemanusiaan yang terjadi di Ghouta Timur sebagai akibat dari pengepungan yang diberlakukan oleh pemerintah Assad yang didukung-Iran dan Rusia di Ghouta Timur.
Sementara itu, pasukan Turki dan Free Syria Army (FSA) dilaporkan telah mengambil kendali penuh atas wilayah Afrin di barat laut Suriah pada akhir Maret dari pejuang Kurdish People's Protection Unit (YPG) yang didukung AS. Turki menganggap Partai Uni Demokratik Kurdi (PYD) di Suriah dan YPG sebagai kelompok teroris yang memiliki hubungan dengan Partai Pekerja Kurdistan yang terlarang (PKK).
YPG telah menguasai beberapa wilayah di Suriah utara, termasuk Afrin dalam perang melawan ISIS yang didukung AS. AS secara logistik telah mendukung dan melatih pasukan YPG dalam proses ini.
Turki berusaha untuk memperluas operasi militernya ke daerah-daerah lain di Suriah utara, yang telah meningkatkan ketegangan antara sekutu NATO Turki dan AS.