REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Para aktivis, petugas penyelamat dan tenaga medis Suriah mengungkapkan pada Ahad (8/4) serangan gas beracun di kota yang dikuasai pemberontak telah menewaskan sedikitnya 40 orang. Tuduhan tersebut dibantah rezim Suriah.
Serangan yang diduga dilancarkan di kota Douma, dekat ibu kota, itu terjadi pada Sabtu (7/4) malam. Serangan terjadi setelah runtuhnya gencatan senjata.
Syrian Observatory for Human Rights menyebutkan setidaknya 80 orang tewas di kota Douma pada Sabtu (7/4). Ini termasuk sekitar 40 orang yang meninggal karena mati lemas.
Penanggap pertama yang terkait dengan oposisi, yang dikenal sebagai White Helmets, juga melaporkan serangan itu. White Helmets mengatakan seluruh keluarga ditemukan mati lemas di rumah dan tempat tinggal mereka.
Laporan itu melaporkan korban tewas akibat mati lemas lebih dari 40. Syrian American Medical Society, sebuah organisasi bantuan, mengatakan 41 orang terbunuh dan ratusan lainnya terluka. Laporan tersebut tidak dapat diverifikasi secara independen.
Pasukan pemerintah Suriah melanjutkan serangan mereka terhadap kota Douma yang dikuasai pemberontak pada Jumat (6/4) sore. Setelah gencatan senjata selama 10 hari runtuh karena ketidaksepakatan mengenai evakuasi pejuang oposisi.
Serangan dilanjutkan beberapa hari setelah ratusan pejuang oposisi dan keluarga mereka meninggalkan Douma menuju daerah yang dikuasai pemberontak di Suriah utara. Douma adalah benteng pemberontak terakhir di Ghouta timur.
Serangan gas yang diduga terjadi di Douma ini terjadi hampir tepat setahun setelah serangan kimia di kota Suriah Khan Sheikhoun di Irak utara dan menewaskan puluhan orang. Serangan itu mendorong Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk memerintahkan serangan rudal ke pangkalan udara Suriah.
Pemerintah Suriah dan sekutunya, Rusia, membantah terlibat dalam dugaan serangan gas. Douma berada di pinggiran Damaskus yang dikenal sebagai Ghouta timur.Sebuah serangan kimia di Ghouta timur pada 2013 yang secara luas disalahkan pada pasukan pemerintah menewaskan ratusan orang. Serangan itu mendorong AS untuk mengancam aksi militer sebelum kemudian mundur.
Suriah terus membantah pernah menggunakan senjata kimia selama perang sipil selama tujuh tahun tersebut. Suriah juga mengatakan mereka telah menghapuskan senjata kimia di bawah perjanjian 2013 yang ditengahi oleh AS dan Rusia setelah serangan di Ghouta timur.