Jumat 13 Apr 2018 22:39 WIB

Badan Intel Rusia Mata-matai Agen Skripal Selama Lima Tahun

Skripal dan putrinya mengalami luka parah akibat racun saraf pada Maret lalu.

Mantan agen intelijen Rusia Sergey Skripal.
Foto: Kommersant/Yuri Senatorov via Reuters
Mantan agen intelijen Rusia Sergey Skripal.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON  -- Badan intelijen Rusia memata-matai bekas agen ganda Sergei Skripal dan putrinya, Yulia, selama setidak-tidaknya lima tahun sebelum keduanya diserang dengan racun saraf pada Maret. Demikian disampaikan penasihat keamanan nasional untuk perdana menteri Inggris.

Penasihat Keamanan Nasional, Mark Sedwill, dalam surat kepada Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg pada Jumat mengatakan, surat elektronika milik Yulia diincar sejak 2014 oleh ahli dunia maya dari dinas intelijen militer Rusia, GRU.

Sedwill juga mengatakan dalam surat itu, yang diterbitkan pemerintah, bahwa kemungkinan besar, dinas intelijen Rusia melihat setidak-tidaknya beberapa penghianatnya sebagai sasaran sah untuk dibunuh.

Skripal dan putrinya menjadi sasaran yang dikatakan London sebagai serangan racun saraf hingga membuat keduanya sakit parah selama berminggu-minggu.Perdana Menteri Inggris Theresa May mengatakan Moskow kemungkinan besar berada di balik serangan tersebut.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mencatat pada Jumat bahwa laporan yang dikeluarkan pekan ini oleh Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) tidak memastikan sumber racun yang digunakan terhadap keluarga Skripal.

Lavrov mengatakan laporan OPCW hanya membenarkan komposisi zat tersebut.

Ia mengatakan pernyataan Inggris, bahwa laporan itu mengukuhkan posisi Britania Raya soal kasus Skripal, adalah sikap yang berlebihan.

Dalam kesempatan terpisah pada Jumat, duta besar Rusia untuk Inggris mengatakan ia khawatir bahwa pemerintah Inggris sedang berupaya menghilangkan barang bukti kasus tersebut.

"Kami mendapat kesan bahwa Pemerintah Inggris sedang secara sengaja menjalankan kebijakan untuk memusnahkan semua bukti, membuat semua materi sisanya menjadi rahasia serta tidak memungkinkan penyelidikan yang independen dan transparan bisa berjalan," kata Duta Besar Alexander Yakovenko kepada para wartawan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement