Ahad 15 Apr 2018 13:29 WIB

Oposisi Pertanyakan Putusan Inggris Serang Suriah

Serangan tersebut seharusnya dikonsultasikan terlebih dulu kepada parlemen.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Agung Sasongko
Suriah
Suriah

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemimpin oposisi Inggris Jeremy Corbyn memprotes keputusan Perdana Menteri Inggris Thereya May menyerang Suriah. Menurutnya, serangan tersebut seharusnya dikonsultasikan terlebih dulu kepada parlemen.

"Theresa May seharusnya meminta persetujuan parlemen, bukan malah mengekor Donald Trump," kata Corby dalam sebuah pernyataan yang dirilis di Facebook-nya pada Sabtu (14/4), dikutip laman Anadolu.

Corbyn, yang juga ketua Partai Buruh berpendapat, tindakan Inggris terhadap Suriah yang dipertanyakan kelegalannya, berisiko menyebabkan eskalasi semakin meningkat. Kendati demikian Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson tetap membela keputusan May.

Menurut Johnson, keputusan yang diambil May untuk bergabung dengan Amerika Serikat (AS) dan Prancis dalam melancarkan serangan ke Suriah sudah tepat. "Dunia bersatu karena menjijikkannya penggunaan senjata kimia, terutama terhadap warga sipil," katanya melalui akun Twitternya.

Pada Sabtu (14/4), AS, Inggris, dan Prancis melancarkan serangan udara ke kota Homs dan Damaskus, Suriah. Ketiga negara mengklaim serangan dilakukan sebagai respons atas dugaan penggunaan senjata kimia oleh Pemerintah Suriah di Douma, Ghouta, pekan lalu.

Dalam serangannya, ketiga negara mengincar fasilitas-fasilitas militer yang diyakini merupakan pusat pengembangan senjata kimia Suriah. Presiden AS Donald Trump menyatakan serangan tersebut sukses.

"Serangan yang sempurna tadi malam. Terima kasih kepada Prancis dan Kerajaan Inggris atas kebijaksanaan dan kekuatan militer mereka yang baik. Tidak bisa mendapatkan hasil yang lebih baik. Misi selesai!," kata Trump melalui akun Twitternya.

Kendati demikian, Pemerintah Suriah mengecam serangan tersebut. Menurut Damaskus, serangan sekutu dilakukan sebagai balasan atas kekalahan kelompok teroris yang dikendalikan ketiga negara di Ghouta. (Kamran Dikarma)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement