REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Filipina mengutuk yang disebutnya campur tangan pada urusan dalam negerinya oleh Parlemen Eropa, yang resolusinya mendesak negara Asia Tenggara itu mengakhiri 'pembunuhan di luar hukum' dan menghentikan rencana membawa kembali hukuman mati.
Sekitar 4.100 orang tewas oleh polisi di Filipina sejak Presiden Rodrigo Duterte mengambil alih kekuasaan pada akhir Juni 2016 dalam yang dikatakan pihak berwenang adalah akibat bakutembak selama perang melawan narkotika. Pegiat menyatakan banyak dari kejadian itu adalah pembunuhan, yang ditolak polisi.
Baca juga, Duterte Siap Tampung Pengungsi Rohingya
Setidak-tidaknya 2.300 kematian terkait narkotika terjadi terpisah oleh yang dikatakan polisi adalah pembunuh tidak dikenal.
Anggota parlemen Eropa pada Kamis (19/4) mengecam pihak berwenang Filipina untuk 'percobaan membenarkan pembunuhan itu dengan memalsukan bukti', yang dikatakan Manila ikut campur dan berdasarkan atas salah keterangan.
"Parlemen Eropa melewati batas ketika menyerukan tindakan tidak beralasan terhadap Filipina," kata Menteri Luar Negeri Alan Peter Cayetano dalam pernyataan pada Kamis malam.
Parlemen Eropa dan anggotanya beberapa kali mengecam tindakan keras Filipina terhadap narkotika, yang menyulut Duterte, yang mengarahkan kekesalannya kepada Uni Eropa daripada cabang legislatifnya.
Uni Eropa adalah sumber penting bantuan pembangunan, perdagangan dan modal bagi Filipina.
Anggota parlemen Eropa juga meminta Manila menghapus yang mereka sebut pembela hak asasi manusia dari daftar yang dianggapnya teroris, termasuk Victoria Tauli-Corpuz, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak masyarakat adat.
Mereka juga mengecam "tekanan dan pelecehan" terhadap pegiat hak asasi manusia dan wartawan, dengan mengatakan bahwa dorongan Duterte untuk memberlakukan kembali hukuman mati melawan kewajiban dunianya.
"Jika anggota Parlemen Eropa tidak menyadarinya, kita mengingatkan mereka bahwa tindakan mereka sudah menjadi campur tangan dalam urusan negara berdaulat," kata Cayetano.
Ia menyatakan resolusi itu didasarkan atas keterangan bias, tidak lengkap dan bahkan salah serta tidak mencerminkan keadaan sebenarnya di lapangan.
Human Rights Watch, yang bermarkas di New York, menyambut resolusi Parlemen Eropa itu dan dukungannya untuk upaya antarbangsa menyelidiki tindakan keras Filipina tersebut.
"Itu pesan tepat waktu dan kuat dari anggota parlemen Eropa Bersatu, yang membuat Presiden Duterte dan pendukungnya mengetahui bahwa pelanggaran berat akan membawa akibat," kata pernyataan penelitinya, Carlos Conde.