REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Inggris Theresa May menghadapi konfrontasi dengan para menteri dan anggota parlemen di Partai Konservatif-nya karena menolak mendukung reformasi peraturan aborsi yang sangat ketat di Irlandia Utara. Hal ini setelah Irlandia melonggarkan undang-undangnya.
Pemilih di Irlandia, negara yang dulunya sangat berpegang teguh dengan aturan Katolik, mendukung perubahan dengan selisih perbandingan dua banding satu. Margin yang jauh lebih tinggi ketimbang jajak pendapat mana pun dalam pemungutan suara.
Perdana menteri menghadapi permintaan dari dalam kabinetnya untuk menghapus peraturan ketat aborsi di Irlandia Utara dan menerapkannya di Inggris. Penny Mordaunt, menteri wanita dan kesetaraan Inggris, mengatakan bahwa kemenangan untuk melegalkan aborsi sekarang harus membawa perubahan ke utara perbatasan Irlandia.
"Hari bersejarah dan besar bagi Irlandia serta harapan bagi Irlandia Utara," kata Mordaunt. "Harapan itu harus dipenuhi," ujarnya.
Seorang juru bicara untuk May mengatakan pada Minggu bahwa perubahan aturan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah di Irlandia Utara, yang tidak memiliki pemerintahan otonom sejak Januari tahun lalu setelah kesepakatan pembagian kekuasaan gagal. May mencuit pada Minggu untuk memberi selamat kepada orang-orang Irlandia atas keputusan mereka, tetapi dia tidak menyebutkan apa artinya hasil tersebut bagi Irlandia Utara.
Irlandia Utara memiliki beberapa undang-undang aborsi yang paling ketat di Eropa, dengan pemerkosaan dan kelainan janin yang fatal yang tidak dianggap sebagai alasan hukum untuk melakukan aborsi. Dan tidak seperti bagian lain Kerajaan Inggris, aborsi adalah hal yang dilarang terlepas dari kapan kehidupan atau kesehatan mental ibu berada dalam bahaya.
Sejak gagalnya pembagian kekuasaan pemerintahan di Irlandia Utara, para pejabat Inggris telah mengambil keputusan besar di wilayah tersebut dan hal tersebut mengartikan pemerintah dapat membuat peraturan langsung. Meski bidang kesehatan sebenarnya wewenang yang sudah didelegasikan ke daerah.
Tetapi, setiap langkah untuk mengubah undang-undang dapat menggoyahkan pemerintahan Inggris dengan melawan Partai Unionis Sosial yang konservatif secara sosial. Di mana May tergantung pada mayoritas parlementernya.
Ian Paisley, seorang anggota parlemen untuk Partai Unionis Demokrat, mengatakan Irlandia Utara tidak boleh diganggu untuk menerima aborsi atas dasar permohonan. Lebih dari 130 anggota parlemen Inggris, termasuk anggota parlemen di Partai Konservatif yang berkuasa, siap untuk mendukung amandemen rancangan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga baru untuk memungkinkan aborsi di Irlandia Utara, demikian laporan surat kabar "Sunday Times."
Anne Milton, seorang menteri pendidikan, pada Minggu mendesak perdana menteri untuk mengizinkan pemungutan suara bebas di parlemen Inggris. Ia mengatakan dia berpikir akan ada "mayoritas signifikan" yang mendukung pelonggaran undang-undang aborsi.
Sarah Wollaston, ketua komite kesehatan dan anggota parlemen di partai May, mengatakan bahwa dia akan mendukung amandemen yang diusulkan dan mengatakan Irlandia Utara setidaknya harus diberikan suara untuk memilih keputusan. Hal tersebut menciptakan masalah baru bagi May yang sudah berupaya menyatukan para menteri teratasnya atas rencana untuk meninggalkan Uni Eropa dan menghadapi prospek serangkaian pemberontakan di parlemen oleh rencana Brexit-nya.
Majelis terpilih Irlandia Utara memiliki hak untuk memaksakan undang-undang aborsi ke Inggris, tetapi menentang melakukannya pada Februari 2016. Majelis belum merundingkannya sejak pemerintahan yang terdesentralisasi gagal pada Januari 2017.