Kamis 31 May 2018 20:39 WIB

Kebijakan Indonesia Blokir Visa untuk Israel Dinilai Tepat

Israel membalas kebijakan Indonesia dengan melarang WNI masuk negaranya.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nur Aini
Bendera Israel (ilustrasi)
Foto: Antara
Bendera Israel (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hubungan Internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah, Eva Mushoffa menilai sikap Indonesia yang menutup hubungan diplomasi dengan Israel sudah tepat. Hal itu jika kebijakan luar negeri Indonesia menentang penjajahan.

Menurutnya, hubungan Indonesia dengan Israel sudah lama menjadi perdebatan. Argumen tersebut terkait apakah dua negara dapat membuka hubungan diplomatik atau tidak.

Ia mengatakan hubungan dagang antara Israel dengan Indonesia memiliki hasil signifikan dan menguat. Menurut data, total perdagangan kedua negara selalu berada di atas angka 100 juta dolar AS. Pada 2015, misalnya, total perdagangan dua negara mencapai 194,43 juta dolar AS atau setara Rp 2,5 triliun. Jumlah tersebut terdiri atas nilai ekspor 116,70 juta dolar AS dan impor 77,73 juta dolar AS.

Eva menilai, angka tersebut bukanlah nominal yang kecil. Oleh karena itu, Presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, sempat mengusulkan pembukaan hubungan diplomasi. "Pertimbangannya, secara de jure, hubungan ekonomi dua negara ini memang sudah berjalan," ucapnya.

Prospek masa depan hubungan diplomasi antara Indonesia dengan Israel masih belum dipastikan dalam waktu dekat. Kemungkinan hubungan diplomasi keduanya tergantung pada eskalasi ketegangan yang kini berlangsung. Israel melarang turis Indonesia untuk masuk ke wilayahnya. Kebijakan politik tersebut mulai berlaku per Sabtu (9/6).

Larangan tersebut diterbitkan sebagai bentuk balasan atas pelarangan turis Israel masuk ke Indonesia. "Israel berupaya untuk mengubah kebijakan Indonesia, tapi langkah yang kami lakukan sepertinya gagal, hal itu mendorong kami melakukan tindakan balasan," ujar Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Emmanuel Nahshon seperti dikutip di Middle East Monitor, Kamis (31/5).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement