Rabu 08 Aug 2018 17:07 WIB

Menelusuri Tradisi Pasar Tradisional yang Hilang di Baghdad

Toko tembaga kuno di Pasar Souk al-Safafeer telah digantikan dengan toko kain.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
Pasar barang kerajinan tembaga di Souk al-Safafeer, Baghdad, Irak.
Foto: Aljazirah
Pasar barang kerajinan tembaga di Souk al-Safafeer, Baghdad, Irak.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Di Irak terdapat sebuah pasar tembaga kuno yang dikenal dengan Souk al-Safafeer. Pasar itu telah ada sejak era Abbasiyah. Dahulu hampir setiap hari suara dari palu yang mengetuk tembaga terdengar keras di Souk al-Safafeer.

Dilansir Aljazirah Rabu (8/8), 15 tahun yang lalu, pasar yang panjangnya setengah kilometer itu ramai dengan para pedagang yang menjual tembaga buatan tangan yang disusun di rak-rak. Sementara itu, para pekerja magang menyalakan api dan memukul lembaran-lembaran tembaga mentah untuk membentuk logam bercahaya menjadi potongan hiasan agar dijual.

Hari ini, suara palu di pasar tembaga hampir hilang. Pasar yang semarak itu, telah berubah menjadi pasar kain yang sepi pengunjung.

Beberapa tukang tembaga mengeluh tentang tekanan keuangan dan kurangnya permintaan. Pariwisata terhenti hampir setelah invasi pimpinan Amerika Serikat (AS) di Irak pada 2003. Melemahnya ekonomi membuat penduduk lokal tidak mampu membeli produk-produk itu.

"Sebelum perang (invasi pimpinan AS 2003) semua orang memukul (dengan tembaga), "kata Mohamed Mahdi, seorang tukang tembaga berusia 52 tahun di Souk al-Safafeer.

Pejabat pemerintah menyesalkan hilangnya warisan ibu kota Irak itu. Tetapi dengan dana terbatas, hanya sedikit yang dapat mereka lakukan untuk menghidupkan kembali pasar itu. "Dulu ada 68 tukang tembaga di sini. Sekarang hanya 10 dan hanya segelintir yang benar-benar menempah tembaga menjadi bentuk yang dapat dijual" kata Mahdi.

photo
Toko tembaga dan kain yang berjajar di Pasar Souk al-Safafeer, Baghdad.

Selain wisata religius, turis asing yang menjadi pembeli utama produk buatan tangan di Souk hampir lenyap sejak 2003. Mahdi, yang mewarisi toko berusia 80 tahun dari kakeknya, mengatakan berkurangnya permintaan membuat hilangnya semangat untuk melanjutkan toko itu.

"Pekerjaan melemah dan begitu juga keuntungan kami. Kami bergantung pada pariwisata dan sekarang telah hilang, kami tidak memiliki pembeli," katanya.

Dia mengatakan warga Irak, yang rata-rata mendapatkan 400 dolar AS per bulan, tidak mampu membeli produknya. Warga Irak beralih ke alternatif buatan Cina dan India yang lebih murah. Produk-produk asing itu telah membanjiri pasar.

Biaya sewa yang mahal dan tagihan listrik yang terus meningkat membuat biaya untuk menjalankan bisnis menjadi lebih mahal. Hal itu menyebabkan banyak tukang tembaga meninggalkan industri dan menjual tokonya kepada pemilik toko kain. Pemilik toko kain telah mengambil alih pasar selama bertahun-tahun.

Salah satu pendatang baru itu adalah Assad Baldawi, pemilik kios kain berusia 44 tahun. Ia pindah ke pasar pada 2003, saat pasar mulai berubah drastis.

"Setelah invasi AS, 90 persen pasar menjadi kios kain dalam beberapa tahun," katanya. Ia mengingat bagaimana Souk dulu memiliki identitas tradisional yang kuat pada 1980-an.

Baldawi, yang sekarang memiliki dua toko kain di pasar, mengatakan tidak seperti tukang tembaga, bisnisnya berjalan dengan baik. "Selalu ada permintaan untuk kain. Setiap tahun kami melihat-lihat dan toko tembaga lain telah ditutup dan menjadi kedai kain. Tempat ini akhirnya akan kehilangan identitas seperti dulu," ujarnya.

photo
Penjualan kain di pasar Souk al-Safafeer (Aljazirah)

Menurut Kepala komite pariwisata dan warisan di dewan provinsi Baghdad, Mazen Razouki pemerintah lokal dan pusat memiliki masalah mendesak dalam memerangi korupsi, merekonstruksi provinsi yang hancur, dan masalah keamanan.

"Pemerintah sudah memiliki cukup urusan. Kerajinan dan pariwisata cukup tidak penting saat ini dan kelanjutannya terkait dengan permintaan. Jika permintaan rendah, maka produksi akan menjadi turun," katanya.

Ia menambahkan hampir tidak ada anggaran yang didedikasikan untuk melindungi dan mempertahankan seni tradisional dan keterampilan seperti membuat barang-barang tembaga. "Bahkan ketika ingin melindungi sejarah Irak, kami memiliki masalah yang jauh lebih besar untuk ditangani: situs warisan yang telah dijarah dan dihancurkan," katanya.

Pada 2014, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)  menjarah dan menghancurkan beberapa situs arkeologi dan bersejarah di seluruh Irak utara. Situs tersebut termasuk masjid berabad-abad dan makam di kota tua Mosul dan kota-kota Asyur di Nineveh.

"Jika kita punya uang maka akan didedikasikan kepada warisan Irak, kita akan mulai dengan mengamankan dan memelihara situs-situs tersebut," katanya.

Meskipun terdapat kondisi yang tidak pasti dari Souk al-Safafeer, Mahdi mengaku tidak akan pernah menjual tokonya atau meninggalkan pekerjaannya. "Saya telah menerima penawaran menarik untuk menjual toko ini, tetapi saya tidak akan pernah meninggalkan perdagangan kakek saya," katanya. Menurutnya, memukul tembaga dan mendengarkan bunyinya secara langsung membuat ia merasa tetap hidup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement