Selasa 25 Sep 2018 11:52 WIB

Laporan AS: Kekerasan Rohingya Terencana dan Terkoordinasi

Para wanita Rohingya diperkosa di hadapan umum.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Foto:
Warga Rohingya berdoa dalam peringatan satu tahun kekerasan tentara Myanmar.

Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine pada akhir Agustus lalu. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida.

Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Pada 18 September lalu, ICC telah meluncurkan penyelidikan awal terhadap Myanmar. Jaksa Penuntut ICC Fatou Bensouda mengatakan, pada tahap ini pihaknya akan melakukan pemeriksaan pendahuluan terkait pemindahan paksa orang-orang Rohingya, termasuk perampasan hak-hak fundamental mereka. Kasus seperti pembunuhan, kekerasan seksual, penghancuran, dan penjarahan yang dialami Rohingya turut tercakup dalam pemeriksaan.

“Pemeriksaan pendahuluan bukan investigasi, tapi proses pemeriksaan informasi yang tersedia untuk mencapai penentuan sepenuhnya informasi tentang apakah ada dasar yang masuk akal untuk melanjutkan penyelidikan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Statuta Roma,” kata Bensouda.

Ia mengatakan, Myanmar bukan negara pihak di ICC. Namun Bangladesh, tempat mengungsinya ratusan ribu etnis Rohingya dari negara bagian Rakhine, adalah negara ICC. “Karena itu, pengadilan dapat melaksanakan yurisdiksi atas perilaku, sejauh itu sebagian terjadi di wilayah Bangladesh,” ujarnya.

Selain laporan Departemen Luar Negeri AS dan PBB, kejahatan terhadap etnis Rohingya juga telah didokumentasikan organisasi hak asasi manusia (HAM) internasional. The Ontario International Agency (OIDA), misalnya, telah memuat hal itu dalam laporannya yang berjudul “Forced Migration of Rohingya: The Untold Experience”.

Dalam laporan itu, OIDA menyebut, sejak 25 Agustus 2017, hampir 24 ribu Rohingya dibunuh pasukan keamanan Myanmar. Lebih dari 114 ribu orang lainnya mengalami penganiayaan dan pemukulan. Kemudian, sekitar 18 ribu wanita Rohingya telah menjadi korban pemerkosaan.

Amnesty International turut mendokumentasikan kejahatan tersebut. Mereka mengatakan, penganiayaan dan kejahatan yang dialami Rohingya telah menyebabkan terjadinya gelombang pengungsi. Lebih dari 750 ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak kekerasan meletus pada Agustus tahun lalu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement