Kamis 06 Dec 2018 19:39 WIB

Kelahiran Menurun, Kota di Jepang Butuh Banyak Imigran

Menurunnya kelahiran dan semakin banyak warga tua membuat Akitakata butuh imigran.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Warga Jepang menikmati aktivitas piknik di taman saat musim sakura berkembang
Foto: AP PHOTO
Warga Jepang menikmati aktivitas piknik di taman saat musim sakura berkembang

REPUBLIKA.CO.ID, AKITAKATA -- Kota kecil di sebelah barat Jepang, Akitakata ingin lebih banyak imigran masuk. Para imigran sangat dibutuhkan mengingat menurunnya angka kelahiran dan semakin menuanya populasi di Jepang.

"Kecilnya angka kelahiran dan menuanya populasi, ketika Anda mempertimbangakan siapa yang membantu orang tua dan pabrik, kami butuh orang asing," kata Wali Kota Akitaka, Kazuyoshi Hamada, 74 tahun, Kamis (6/12).

Akan tetapi, semakin sedikit orang asing yang dapat tinggal dan bekerja di Jepang. Karena Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berharap undang-undang yang membuat waktu pekerja asing di Jepang semakin terbatas.

Orang Brasil Luan Dartora Taniuti sudah tinggal di Akitakata sejak berumur sembilan tahun. Leonel Maia dari Timur Leste sudah berada di sana tujuh tahun yang lalu. Sementara Gladys Gayata dari Filipina baru saja tiba tapi ia harus meninggalkan Jepang kurang dari tiga tahun. 

Undang-undang imigrasi Jepang membuat Taniuti yang memiliki darah Jepang dan Maia yang menikah dengan laki-laki Jepang para pekerja asing yang dibolehkan tinggal dalam waktu yang lama. Sementara undang-undang tersebut tidak adil bagi Gayeta.

Seperti daerah-daerah lainnya, menurut Hamada kini Akitakata membutuhkan pekerja asing dari pada sebelumnya. Mereka membutuhkan pekerja asing dari berbagai latar belakang untuk tetap tinggal di sana.

Seperti yang sudah diketahui populasi Jepang terus menurun. Tapi masalah terbesarnya ada di tempat-tempat terpencil dan pinggir-pinggir kota seperti Akitakata.

Hamada mengajukan proposal untuk menarik pekerja asing yang disebut 'teijusha' atau izin tinggal jangka panjang. Ini kebijakan imigrasi pertama yang mengizinkan pekerja asing tinggal lebih lama di Jepang.

Abe menyatakan rencana tersebut dapat mengatasi persoalan kekurangan tenaga kerja di Jepang. Tapi, ia menolak jika rencana itu disebut kebijakan imigrasi.

"Hamada secara terbuka menyebutnya sebagai kebijakan imigrasi dan itu sangat berani, Akitakata adalah pelopor," kata Managing Direktur Japan Center of International Exchange, Toshihiro Menju.

Populasi Akitakata gabungan dari enam kota kecil. Jumlah merosot dari 30.983 jiwa pada November 2014 menjadi 28.910 jiwa. Sekitar 40 persen dari total populasi berusia 65 tahun ke atas.

Pabrik onderdil mobil dan pertanian kesulitan mencari pekerja, banyak rumah kosong, jalanan gelap dan berdebu saat malam tiba. Gang-gang supermarket biasanya sudah kosong pada pukul 20.00 waktu setempat.

Hamada mengatakan izin tinggal jangka panjang warga asing menjadi solusinya. Tapi yang paling penting mengintergrasikan mereka dengan penduduk sekitar. Sebab para ahli mengatakan banyak kota yang tidak siap menerima pekerja asing.

Para pekerja asing kerah biru biasa saja tiba melalui tiga jalur hukum. Pertama visa jangka panjang yang dimulai pada 1990 untuk para warga Amerika Latin keturunan Jepang, kedua melalui 'program pelatihan teknis' yang sering dikritik sebagai tindakan eksploitasi pekerja tidak terampil, dan ketiga mahasiswa asing yang diperbolehkan bekerja 28 jam dalam satu minggu.

Jumlah warga asing di Jepang sebanyak 2,5 juta orang pada Januari 2018. Naik sebanyak 7,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan sekitar 2 persen dari total populasi. Sementara itu, jumlah populasi pribumi Jepang turun 0,3 persen menjadi 125 juta orang pada periode yang sama.

Dua per tiga warga asing di Akitakata berasal dari Cina, Vietnam, Thailand, dan Fipilina. Kebanyakan dari mereka hanya diperbolehkan tinggal selama tiga tahun. Sisanya warga asing yang memiliki izin tinggal jangka panjang seperti Maia dan Taniuti. Mereka bahkan tetap bertahan ketika krisis finansial global yang memaksa pemerintah menawarkan tiket satu arah ke negara asal mereka.

"Ketika saya takut kehilangan pekerjaan, saya pikir 'sudah cukup jika saya bisa makan," kata Taniuti.

Lima tahun yang lalu ia mendirikan perusahannya sendiri. Kini dua saudara laki-lakinya dan ayah bekerja di perusahaan yang ia dirikan. Kini warga Akitakata terpecah menjadi dua kelompok, mereka yang mendukung adanya orang asing dan yang tidak.

Pada sebuah survei pada 2017 menunjukkan sebanyak 48 persen warga Akitakata berpendapat 'bagus' jika memiliki pekerja asing di kota itu. Jumlah ini naik dari 30,8 persen pada survei 2010. Jumlahnya hampir sama dengan warga Jepang yang mendukung rencana Abe pada surver koran Asahi bulan November lalu.

"Saya pikir hidup kami akan lebih kaya dengan budaya, tapi buruknya keterampilan komunikasi orang Jepang dan bahasa akan menjadi halangan," kata seorang ibu Yuko Okita, 64 tahun.

Maia mengatakan ia cukup akrab dengan masyarakat setempat. Ia juga anggota sukarelawan pemadam kebakaran setempat. Namun, putrinya yang keturunan Jepang-Filipina dirundung di sekolahnya.

Media memuat sebuah laporan yang menyatakan Hamada menargetkan angka kenaikan warga asing yang mana menurut wali kota tersebut salah. Laporan itu memicu demonstrasi kelompok sayap-kanan ekstrem di dekat Hiroshima.

Akitakata juga mungkin akan kesulitan untuk menarik warga asing untuk tinggal di sana. Sebab tempatnya terpencil dan kotanya pun kecil. "Waktu di Akitakata berjalan lambat, tidak menarik anak muda, tapi ini tempat yang bagus untuk membesarkan anak," kata Taniuti.

Gayeta yang sedang menjalani pelatih di pabrik onderdil mobil pun mengamininya. Ia mengatakan tidak banyak yang bisa dilakukan di Akitakata setelah pulang kerja.

"Tidak ada tempat untuk jalan-jalan, cuma ada yama (gunung)," katanya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement