Kamis 21 Mar 2019 19:03 WIB

Muslimah Skotlandia Jadi Sasaran Kebencian

Sebagian besar perempuan Muslim Skotlandia mengaku korban aksi kebencian.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nur Aini
Para Muslimah di Skotlandia.
Foto: Nationalgalleries.org
Para Muslimah di Skotlandia.

REPUBLIKA.CO.ID, EDINBURGH -- Sebuah survei terbaru menyebutkan, bahwa hampir dua pertiga dari Muslimah di Skotlandia pernah menyaksikan atau mengalami insiden kebencian atau kejahatan. Survei menyebut 74 persen dari perempuan tersebut mengatakan mereka adalah korban.

Para perempuan itu mengatakan, mereka telah diteriaki dan diumpat atau diludahi. Sementara yang lainnya mengatakan bahwa mereka dipaksa melepas jilbab mereka. Perempuan Muslim di Skotlandia juga dilaporkan mereka diminta untuk kembali ke tempat asal mereka.

Baca Juga

Sementara itu, sekitar 65 persen dari Muslimah di Skotlandia mengatakan, mereka tidak melaporkan insiden tersebut. Sedangkan, 91 persennya mengatakan, tidak ada intervensi atau dukungan dari orang yang berada di sekitar tempat kejadian.

Statistik yang mengejutkan tersebut diungkapkan oleh Amina, sebuah Pusat Sumber Daya Perempuan Muslim yang berbasis di Glasgow, Skotlandia. Lembaga ini melakukan survei dalam upaya untuk memahami skala Islamofobia di negara itu.

Manajer program di Amina, Ghizala Avan, mengatakan lembaga amal ini melakukan survei setelah menemukan data kepolisian Skotlandia yang tidak memerinci jenis kelamin korban kejahatan rasial agama. Meskipun, bukti menunjukkan bahwa perempuan Muslim lebih mungkin menjadi sasaran, dilecehkan, dan diserang.

"Kita tahu bahwa perempuan Muslim lebih terlihat karena banyak yang mengenakan jilbab atau niqab, dan di Amina kita mendengar cerita sepanjang waktu perempuan dilecehkan dan dipermalukan secara verbal. Bagi kami ini adalah kenyataan sehari-hari dan sayangnya wanita Muslim hidup dengan itu seolah-olah itu normal," kata Avan, dilansir dari The Scotsman, Kamis (21/3).

Ia mengungkapkan, tekanan yang diterima Muslimah di negara itu terkadang membuat mereka meragukan identitas mereka. Hal itu karena mereka merupakan perempuan Muslim dan generasi ketiga di Skotlandia, yang orang tuanya lahir di sana.

Avan sendiri memang tidak mengenakan jilbab. Sehingga, ia tidak memiliki pengalaman seperti teman-teman lainnya yang mengenakan jilbab. Namun, ia pernah berada dalam satu pesawat bersama seorang rekan yang mengenakan jilbab. Saat itu, menurut dia, pramugari membuatnya berpindah kursi dengan alasan rekannya itu tidak bisa berbicara bahasa Inggris dan berada di kursi dekat pintu darurat. Sang pramugari juga bersikap kasar kepadanya. Hal yang paling mengkhawatirkan, Avan mengatakan tidak ada orang lain yang ikut campur atau mengatakan apa pun.

Begitu pula saat Amina mencoba memecahkan masalah dan mendidik anak muda tentang Islam di sekolah-sekolah. Menurut dia, umumnya siswa berpikir tentang Muslim sebagai teroris, ekstremis, dan penindas.

Avan melanjutkan, temuan ini dipresentasikan kepada kelompok lintas partai di parlemen Skotlandia tentang penanggulangan Islamofobia. Di sana, Amina MWRC menyerukan kepada Pemerintah Skotlandia untuk meningkatkan sumber daya guna mengatasi meningkatnya kebencian anti-Muslim.

Sensus terbaru dari 2011 menunjukkan bahwa 1,4 persen populasi Skotlandia adalah Muslim. Namun, buletin tentang Serangan Terburuk Secara Agama di Skotlandia 2017-2018 menunjukkan, bahwa 18 persen dari pelanggaran terberat secara agama adalah untuk tindakan yang merendahkan terhadap Islam.

Kepala eksekutif Amina MWRC, Samina Ansari, mengatakan, ada banyak kisah yang diceritakan tentang perempuan Muslim yang diserang secara fisik dan atau verbal. Adapula yang didiskriminasi di tempat kerja berdasarkan identitas agama mereka.

"Dampak dari kejahatan ini bisa sangat besar, dan masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan kita memiliki masyarakat yang inklusif dan kohesif yang kita semua inginkan," kata Ansari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement