REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Para pemilih di Filipina menuju ke tempat pemungutan suara untuk pemilihan paruh waktu, Senin (13/5). Ini diharapkan memberikan kemenangan bagi sekutu Presiden Filipina Rodrigo Duterte dan untuk memajukan agendanya.
"Kemenangan besar bagi sekutu (Duterte) akan berarti dukungan untuk kebijakan unggulan Presiden, terutama yang kontroversial," kata seorang doktor di bidang politik dan perubahan sosial di Australian National University, Cleve Arguelles, dilansir di NZ Hherald, Senin (13/5).
Sekitar 60 juta pemilih yang memenuhi syarat di Filipina akan mengikuti pemilu. Mereka memilih puluhan senator atau setengah dari majelis, 200 perwakilan, dan pejabat lokal.
"Apa yang dipertaruhkan dalam pemilihan tengah semester 2019 adalah apakah kepresidenan Duterte bahkan akan lebih berbahaya daripada yang sudah ada," ucap Arguelles.
Duterte terkenal karena perang berdarahnya terhadap narkoba. Pemerintah menyatakan lebih dari 5.000 pengedar narkoba dan pengguna terbunuh dalam operasi polisi.
Sementara kelompok hak asasi manusia mengatakan jumlah korban mungkin jauh lebih tinggi. Jumlahnya bisa mencapai hingga 20 ribu, termasuk pengguna narkoba tingkat rendah, dan bahkan warga biasa.
Pemilihan juga akan menentukan independensi senat. Meskipun para senator semakin banyak bersekutu dengan Duterte, badan tersebut telah mampu memblokir undang-undang utama yang diperkenalkan oleh Duterte.
Ini termasuk langkah-langkah untuk mengembalikan hukuman mati, menurunkan usia pertanggungjawaban pidana, dan menciptakan bentuk federal pemerintah. Seorang ilmuwan politik di Universitas Filipina, Aries Arugay mengatakan, Senat telah menjadi benteng terakhir perlawanan.
Kampanye Duterte pada 2016 secara luas dibantu oleh disinformasi online dan informasi negatif internet. Analisis media sosial menunjukkan orang Filipina menghabiskan waktu online paling banyak dari populasi mana pun di dunia.
Rata-rata harian warga Filipina menghabiskan waktu lebih dari 10 jam di internet. Penggunaan media sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk kampanye politik membuat Komisi Pemilihan Filipina lengah.
Politikus lintas partai bergabung dalam perang siber, mempekerjakan orang untuk membuat akun palsu demi meningkatkan platform mereka, membela orang-orang mereka, dan kadang-kadang menjelekkan saingan mereka.
Komisi pemilu telah memperkenalkan aturan mengenai kampanye online. Kandidat sekarang diminta mengungkapkan semua akun online resmi mereka. Kemudian, 30 hari setelah pemilihan, Facebook dan platform lain diharapkan mengirimkan laporan iklan berbayar.