REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Menteri Intelijen Iran, Mahmoud Alavi mengatakan Teheran dan Washington dapat melakukan pembicaraan hanya jika Amerika Serikat (AS) mengakhiri sanksi dan otoritas tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, memberikan persetujuannya. Pernyataan tersebut dilaporkan kantor berita negara IRNA pada Kamis (4/7).
"Mengadakan pembicaraan dengan Amerika hanya dapat ditinjau oleh Iran jika (Presiden AS Donald Trump) mencabut sanksi dan pemimpin tertinggi kita memberikan izin untuk mengadakan pembicaraan seperti itu," kata Mahmoud Alavi, Rabu malam (3/7).
"Orang Amerika takut dengan kekuatan militer Iran, itulah alasan di balik keputusan mereka untuk membatalkan keputusan menyerang Iran," ucap Alavi.
Trump mengatakan bulan lalu bahwa ia telah membatalkan serangan militer terhadap Iran karena itu dapat menewaskan 150 orang, dan mengisyaratkan bahwa ia terbuka untuk berbicara dengan Teheran. Rencana serangan dilakukan untuk membalas serangan Iran atas pesawat tak berawak AS pada 20 Juni.
Teheran menyatakan pesawat pengintai ditembak jatuh oleh rudal darat ke udara di wilayah udara Iran. Sementara, Washington mengatakan telah berada di wilayah udara internasional.
Ketegangan meningkat antara Teheran dan Washington dari tahun lalu, ketika Trump menarik AS dari perjanjian nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) antara Iran dan enam negara kekuatan dunia. AS kemudian menerapkan kembali sanksi yang telah dicabut berdasarkan kesepakatan tersebut.
Sebagai reaksi terhadap sanksi-sanksi AS, yang secara khusus menargetkan aliran pendapatan asing utamanya dalam bentuk ekspor minyak mentah, Iran telah mengurangi komitmennya terhadap kesepakatan itu. Iran akan meningkatkan pengayaan uranium setelah 7 Juli ke tingkat apa pun yang dibutuhkan di luar batas yang ditentukan dalam perjanjian.