REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China kembali menyalahkan negara Barat dalam bentrokan yang terjadi antara pengunjuk rasa dan polisi Hong Kong pada akhir pekan lalu. Juru bicara pemerintah China mengatakan, beberapa orang yang tidak bertanggung jawab di Barat telah bersimpati dan toleran terhadap kekerasan di Hong Kong.
"Pada akhirnya, niat mereka adalah untuk menciptakan masalah di Hong Kong, membuat Hong Kong menjadi masalah bagi China, dan untuk menahan perkembangan China," ujar Juru Bicara Kantor Urusan Kabinet Hong Kong dan Makau, Yang Guang, dalam konferensi pers.
Yang menambahkan, Beijing tidak akan menolerir campur tangan pihak luar dalam urusan Hong Kong. Yang dengan tegas mengatakan, pemerintah China mendukung dan mengapresiasi polisi yang telah bertugas untuk menciptakan keamanan dan stabilitas Hong Kong.
"Kami memahami tekanan besar yang dihadapi polisi Hong Kong dan keluarga mereka. Kami ingin memberi hormat kepada polisi Hong Kong yang telah memenuhi tugas mereka melawan segala rintangan," kata Yang.
Pemerintah dan kepolisian Hong Kong menyatakan, aksi protes yang terus berlangsung secara berkelanjutan telah memberikan tekanan besar kepada petugas keamanan. Pihak berwenang Hong Kong mengatakan, tekanan tersebut menyulitkan polisi untuk bertindak. Terutama ketika terjadi penyerangan di dalam stasiun Yuen Long pada 21 Juli lalu.
Para pengunjuk rasa mengatakan, lambatnya tindakan polisi terhadap serangan di stasiun Yuen Long mengindikasikan bahwa para petugas melakukan kerja sama dengan para penyerang. Tuduhan ini langsung dibantah oleh kepolisian Hong Kong. Polisi telah menangkap enam pria yang terkait dengan serangan tersebut, termasuk beberapa orang yang terkait dengan geng triad.
Anggota perlemen pro-Beijing di Hong Kong mengatakan, keinginan warga Hong Kong adalah agar kekerasan segara dihentikan. Legislator Starry Lee mengatakan, kekerasan tidak boleh berlanjut karena tidak memberikan manfaat bagi berbagai pihak.
"Saya pikir semua kekerasan ini tidak boleh berlanjut karena tidak membawa manfaat bagi siapa pun," ujar Lee.
Sementara itu, anggota parlemen pro-demokrasi, Claudia Mo mengaku khawatir dengan pernyataan pemerintah China yang mendukung polisi Hong Kong dan pemimpin Hong Kong Carrie Lam. Menurutnya, pernyataan tersebut akan semakin mengobarkan semangat para demonstran untuk melakukan aksi lanjutan.
"Saya sangat khawatir bahwa ini akan menyulut api dari gelombang protes di Hong Kong," ujar Mo.
Warga Hong Kong mulai melakukan aksi protes pada awal Juni, dengan tuntutan bahwa pemerintah harus mencabut rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi. RUU tersebut akan memungkinan pelaku kejahatan diadili di China. Para kritikus mengatakan, RUU ekstradisi ini akan membuat hak hukum mereka semakin terancam.
Pemerintah telah menangguhkan RUU tersebut. Namun, aksi protes semakin meluas dengan tuntutan yang semakin meluas yakni menyerukan demokrasi dan meminta agar Lam turun dari jabatannya. Para pengunjuk rasa menuntut penyelidikan independen terhadap perilaku polisi yang melakukan kekerasan dalam aksi protes, dikutip dari AP, Selasa (30/7).