Selasa 30 Jul 2019 16:12 WIB

Sebagian Besar Penghuni Kamp Xinjiang telah Bebas

China tidak menyebutkan jumlah spesifik penghuni kamp Xinjiang yang dibebaskan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, berolahraga di lapangan voli pelataran asrama, Jumat (3/1/2019).
Foto: ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, berolahraga di lapangan voli pelataran asrama, Jumat (3/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Provinsi Xinjiang mengatakan sebagian besar penghuni kamp reedukasi dan vokasi di wilayahnya telah keluar dan menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan lokal. Namun, tak disebutkan secara spesifik jumlah mereka.

“Sebagian besar lulusan dari pusat pelatihan kejuruan telah diintegrasikan kembali ke masyarakat. Lebih dari 90 persen lulusan telah menemukan pekerjaan yang memuaskan dengan pendapatan yang baik,” kata Gubernur Xinjiang Shohrat Zakir dalam konferensi pers di Beijing, dilaporkan laman Aljazirah, Selasa (30/7).

Baca Juga

Pada kesempatan itu, Zakir enggan menyebutkan berapa banyak peserta yang mengikuti pendidikan di pusat-pusat vokasi di Xinjiang. Dia hanya menyatakan bahwa program itu adalah pendekatan yang efektif dan perintis untuk melawan terorisme.

Sementara itu, juru bicara the World Uyghur Congress Dilxat Raxit meragukan keterangan Zakir. Menurutnya Zakir adalah “mikrofon politik” yang biasa dimanfaatkan Beijing untuk menyebarkan muslihat. “Pernyataan Shohrat Zakir sepenuhnya mendistorsi realitas penganiayaan sistematis yang dialami warga Uighur di China,” ujarnya.

Beberapa waktu lalu, koordinator kontraterorisme Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Nathan Sales mengatakan penahanan Muslim Uighur di Xinjiang tak ada hubungannya dengan terorisme. Dia menilai apa yang terjadi di sana lebih dari hal itu. “Ia sedang mencoba untuk menghilangkan identitas etnis, bahasa, budaya, dan agama dari orang-orang yang telah ditargetkan,” kata Sales saat diwawancara Radio Free Asia.

Selain melakukan penahanan secara paksa dan mendoktrin warga Uighur, otoritas Xinjiang juga disebut banyak melakukan penghancuran terhadap  masjid dan situs suci umat Islam di wilayah tersebut. Hal ini pernah ditelusuri dan diinvestigasi oleh the Guardian dan situs jurnalisme terbuka Bellingcat.

Dengan bantuan citra satelit, the Guardian dan Bellingcat memeriksa lokasi 100 masjid dan tempat suci di Xinjiang yang diidentifikasi oleh mantan penghuni, peneliti, serta alat pemetaan crowdsourced. Dari 91 situs yang dianalisis, 31 masjid dan dua tempat suci utama, termasuk kompleks Imam Asim serta situs lainnya, mengalami kerusakan struktural yang signifikan antara 2016 dan 2018. 

Dari jumlah itu, sebanyak 15 masjid dan dua situs suci telah atau hampir sepenuhnya dihancurkan. Para pegiat hak asasi manusia (HAM) dan peneliti percaya bahwa otoritas Xinjiang telah secara sengaja memusnahkan situs suci Islam Uighur dan masjid di wilayah tersebut. 

Namun, minimnya catatan tentang situs-situs tersebut, ditambah sulitnya melakukan perjalanan independen ke Xinjiang, serta pengawasan yang ketat terhadap warga di sana, menjadi penghalang dalam proses konfirmasi terkait laporan kehancuran tersebut. Namun yang jelas penghancuran situs-situs agama Islam di Xinjiang merupakan bentuk serangan baru terhadap kebudayaan Uighur. 

"Gambar-gambar (situs) Imam Asim di reruntuhan cukup mengejutkan. Untuk jamaah yang taat, mereka akan sangat kecewa," ujar sejarawan Islam dari University of Nottingham Rian Thum. Situs Imam Asim merupakan salah satu situs suci yang kerap dikunjungi peziarah Muslim Uighur setiap tahunnya.

Selain situs Imam Asim, para peziarah Muslim Uighur juga biasa mengunjungi makam Jafari Sadiq. Dia adalah tokoh yang dianggap berjasa menyebarkan Islam di Xinjiang. Namun, makamnya tampaknya telah dirobohkan pada Maret 2018. Berdasarkan pengamatan dari satelit, bangunan-bangunan yang biasa digunakan untuk menampung para peziarah di kompleks tersebut juga lenyap. 

"Tidak ada yang bisa mengatakan lebih jelas kepada orang Uighur bahwa negara China ingin mencabut budaya mereka dan memutuskan hubungan mereka dengan tanah, selain dari penodaan makam leluhur mereka, tempat sucinyang menjadi simbol sejarah Uighur," kata Rian Thum. 

Dalam sebuah agenda pengarahan media pada April lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Lu Kang sempat ditanyai perihal penghancuran masjid dan situs suci Islam di Xinjiang. Dia menyangkal adanya situasi seperti itu. "Ada lebih dari 20 juta Muslim dan lebih dari 35 ribu masjid di China. Sebagian besar orang percaya dapat dengan bebas melakukan kegiatan keagamaan sesuai dengan hukum," ujarnya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement