REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Penerbangan dari dan menuju Hong Kong mulai Senin (12/8) sore waktu setempat telah dihentikan. Hal tersebut dilakukan setelah para pengunjuk rasa menduduki bandara Internasinoal Hong Kong selama empat hari terakhir menyusul aksi demonstrasi yang dimulai sejak awal Juni lalu.
Berdasarkan laporan, massa yang memenuhi terminal sejatinya telah membubarkan diri dengan damai. Namun, masih ada sekitar 50 orang lagi yang memutuskan untuk menetap di bandara tersebut.
"Ini tentang kebebasan kami, kenapa kami harus pergi," kata salah seorang pengunjuk rasa, Yu (24), seperti dikutip Reuters, Selasa (13/8).
Pemerintah China menyamakan para pendemo tersebut dengan pelaku terorisme. Ahli hukum di Hong Kong berpendapat, pemerintah China kemungkinan akan menggunkaan hukum anti-teror dan kekuatan militer untuk membubarkan massa.
Sejumlah aparat kepolisian sudah disiagakan di kota terdekat, yakni Shenzhen. Pasukan itu disebut-sebut dapat menanggulangi berbagai macam peristiwa termasuk serangan teroris.
Otoritas bandara setempat bersama maskapai sebenarnya berupaya untuk membuka kembali akses penerbangan pada Selasa (13/8) pukul 06.00 pagi waktu setempat. Namun, hal tersebut tehambat menyusul meningkatnya benturan antara massa dan aparat kepolisiann.
Sedikitnya 190 penerbangan terganggu akibat aksi massa tersebut. Otoritas bandara setempat hanya memperbolehkan pesawat yang telah mengudara menuju Hong Kong untuk mendarat.
"Operasional Bandara Internasional Hong Kong telah mendapatkan gangguan serius menyusul berkumpulnya massa," kata otoritas bandara setempat.
Gelombang protes di Hong Kong ini awalnya dipicu RUU Ekstradisi telah menjadi masif dan semakin marak dalam beberapa pekan terakhir. Insiden bentrokan dengan kepolisian sempat terjadi.
Demonstran menargetkan menduduki transportasi umum dalam upaya untuk menekan pemerintah. Mereka melempari barikade aparat. Kepolisian lantas membalas dengan menembakan gas air mata serta peluru karet untuk membubarkan massa.