Senin 26 Aug 2019 06:46 WIB

Pertemuan G-7 Berjalan Sulit

Ketidakhadiran Rusia menjadi salah satu ketegangan di pertemuan G-7.

Rep: Lintar Satria/ Red: Indira Rezkisari
Para pemimpin tujuh negara yang tergabung di G7 dan tamu undangan berpose di sela KTT G7 di Biarritz, Prancis, Ahad (25/8).
Foto: AP
Para pemimpin tujuh negara yang tergabung di G7 dan tamu undangan berpose di sela KTT G7 di Biarritz, Prancis, Ahad (25/8).

REPUBLIKA.CO.ID, BIARRITZ -- Pertemuan G-7 yang digelar di Biarritz, Prancis, berjalan dengan sulit. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengaku ia akrab dengan para pemimpin-pemimpin lain di grup tersebut yang antara lain Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia dan Jepang.

Namun keretakan jelas-jelas terjadi di sejumlah isu. Mulai dari perang dagang dengan China sampai ambisi nuklir Iran dan Korea Utara. Para pemimpin negara juga berselisih paham tentang apakah Presiden Rusia Vladimir Putin harus dimasukkan kembali dalam kelompok tersebut atau tidak.

Baca Juga

Pada 2014 lalu Rusia dikeluarkan dalam kelompok yang sebelumnya dikenal G-8 itu. Negara yang dipimpin Putin tersebut dikeluarkan setelah Rusia menganeksasi Krimea dari Ukraina dan mendukung pemberontak di wilayah industri Donbas di sebelah timur Ukraina.

Salah satu pejabat negara Eropa yang tidak mau namanya disebutkan mengatakan masalah Rusia menjadi duri dalam daging selama makan malam. "(Pembicaraan) menjadi sedikit menegang atas ide G-7 menjadi klub liberal demokrasi, titik itu jelas tidak bertemu dengan presiden AS," kata pejabat tersebut, Senin (26/8).

Trump berpendapat dalam sejumlah isu seperti Iran dan Suriah lebih masuk akal untuk melibatkan Putin. Sebab Rusia memiliki peran kunci di isu-isu tersebut.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengucapkan selamat kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron sebagai tuan rumah. "Anda melakukan dengan baik, Anda sangat hebat tadi malam, ya Tuhan, itu sangat sulit, Anda benar-benar melakukannya dengan baik," kata Johnson.

Pertemuan G-7 dilatarbelakangi kekhawatiran perlambatan ekonomi global. Diperburuk perang dagang antara Washington dan Beijing.

Johnson mengungkapkan kekhawatirannya tentang semakin meningkatkan tren proteksionisme di sejumlah negara. Ia mengatakan siapa pun yang mendukung tarif tinggi 'berisiko menanggung kesalahan atas perlambatan perekonomian global'.

"Kami mendukung perdamaian perdagangan secara keseluruhan dan menekannya jika kami bisa," kata Johnson yang duduk berhadapan-hadapan dengan Trump.

Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte memperingatkan pemimpin-pemimpin lainnya tentang bahaya proteksionisme. Ia juga mendesak Washington untuk tidak melakukan ancaman mereka menaikan tarif impor otomotif Jerman.

Namun, Gedung Putih melipatkangandakan sikap agresif mereka dalam perdagangan dengan China. Juru bicara Gedung Putih Stephenie Grisham menjelaskan apa yang Trump maksud ketika mengatakan mempertimbangkan akan kembali menaikan tarif impor barang-barang China pada pekan lalu adalah ia hanya menyesal tidak menaikannya lebih tinggi lagi, dikutip dari Reuters.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement