REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah China menyatakan akan mengambil langkah tegas untuk merespons pengesahan Undang-Undang (UU) Hong Kong Democracy and Human Rights Act oleh Amerika Serikat (AS). Beijing menegaskan upaya intervensi asing dalam urusan domestiknya pasti gagal.
"UU yang disebut ini hanya akan memperkuat tekad rakyat Cina, termasuk orang-orang Hong Kong, dan meningkatkan kesadaran dari niat jahat serta sifat hegemonik AS. Plot AS hancur," kata Kementerian Luar Negeri China pada Kamis (28/11).
Wakil Menteri Luar Negeri China Le Yucheng telah memanggil Duta Besar AS untuk China Terry Branstad. Le menuntut agar Washington segera berhenti mengintervensi urusan dalam negerinya.
Pada Rabu lalu Presiden AS Donald Trump telah mengesahkan UU Hong Kong Democracy and Human Rights Act. Pengesahan dilakukan meskipun ada tekanan dari Beijing agar Trump tak menandatanganinya.
UU tersebut mewajibkan Departemen Luar Negeri AS untuk menyatakan, setidaknya setiap tahun, bahwa Hong Kong cukup otonom. Hal tersebut akan menjadi persyaratan bagi kesepakatan serta transaksi perdagangan bilateral AS dan Cina.
Akhir pekan lalu, Hong Kong telah menggelar pemilu dewan distrik. Sebanyak 347 dari 452 kursi diraih oleh kubu pro-pengunjuk rasa. Hasil pemilu tersebut dianggap merupakan tamparan bagi kepemimpinan Carrie Lam.
Lam menilai hasil pemilu mencerminkan ketidakpuasan masyarakat atas situasi dan kondisi yang melanda Hong Kong selama lima bulan terakhir. Gelombang demonstrasi yang masih berlanjut membuat perekonomian Hong Kong terpukul.
Aksi demonstrasi di Hong Kong telah berlangsung sejak Juni lalu. Pemicu utama pecahnya demonstrasi di Hong Kong adalah rancangan undang-undang ekstradisi (RUU). Masyarakat menganggap RUU itu merupakan ancaman terhadap independensi proses peradilan di sana. Sebab jika disahkan RUU itu memungkinkan otoritas Hong Kong mengekstradisi pelaku kejahatan atau kriminal ke China daratan. Hong Kong telah secara resmi menarik RUU tersebut. Namun hal itu tak serta merta menghentikan aksi demonstrasi.
Massa menuntut Lam mundur dari jabatannya sebagai pemimpin eksekutif. Lam dianggap terlalu lekat dengan Beijing. Massa pun mendesak agar aksi kekerasan oleh aparat keamanan diusut tuntas, dikutip dari Reuters.