REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, komandan militer Timur Libya Khalifa Haftar tidak dapat diharapkan untuk menghormati gencatan senjata. Hal ini ia sampaikan saat mengomentari pelanggaran gencatan senjata.
"Dalam gencatan senjata tidak mungkin untuk mengharapkan belas kasih dan pemahaman dari seseorang seperti dia (Haftar)," kata Erdogan, Ahad (26/1).
Turki mendukung pemerintahan Libya yang diakui oleh masyarakat internasional di Tripoli. Erdogan berulang kali mengatakan Haftar dan pasukannya tidak sah. Pada Senin (14/1) dua pekan yang lalu Haftar meninggalkan meja perundingan di Moskow tanpa menandatangani perjanjian gencatan senjata. Perundingan gencatan senjata tersebut diajukan Turki dan Rusia.
Haftar dan Kepala pemerintahan Libya di Tripoli yang diakui PBB Fayez Sarraj datang ke Moskow. Mereka membahas gencatan senjata bersama diplomat tinggi dan perwira militer dari Rusia dan Turki.
Pembicaraan itu berlangsung selama tujuh jam. Dalam pertemuan tersebut Sarraj dan Hiftar tidak bertemu secara langsung. Usai pertemuan itu Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengumumkan Sarraj menandatangani rancangan dokumen yang mengungkapkan rincian kesepakatan gencatan senjata. Sementara Haftar meminta waktu untuk mempertimbangkannya.
Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan Haftar meninggalkan Moskow tanpa menandatangani kesepakatan. Menteri Luar Negeri Rusia Lavrov mengatakan upaya untuk menengahi konflik terus berlangsung.
"Kami akan bekerja sama di arah yang sama dan mendesak semua pihak (yang berkonflik) di Libya untuk bernegosiasi daripada mencoba melakukan hal-hal yang berakhir pada kekerasan," kata Lavrov.
Tiga hari kemudian Haftar meminta bantuan Yunani untuk melawan pemerintah Libya yang dibantu oleh Turki. Haftar bertemu dengan Menteri Luar Negeri Yunani Nikos Dendias pada Kamis (16/1) dalam kunjungan mendadaknya.
Ia melanjutkan pertemuan dengan Perdana Menteri Kyriakos Mitsotakis dan beberapa pejabat tinggi Yunani lainnya pada Jumat (17/1). Kunjungan mendadak Haftar ini dilakukan satu pekan setelah pertemuan di Berlin yang bertujuan untuk menghentikan konflik di Libya.
Konflik di negara kaya minyak itu diisi kompetisi internasional yang mendukung salah satu pihak. Turki sudah mengirim pasukan untuk mendukung pemerintah Libya melawan pasukan Haftar.
Kedatangan Haftar ke Yunani bukan sesuatu yang mengejutkan. Pasalnya Turki berselisih dengan Yunani atas hak penambangan di Timur Mediterania yang kaya minyak dan gas alam.
Pada bulan November lalu Turki dan Libya menandatangani kesepakatan perbatasan maritim yang kontroversial di Timur Mediterania. Kesepakatan itu bertentangan dengan kesepakatan sebelumnya yang ditandatangani bersama Yunani, Siprus, Mesir dan Israel.