REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- House of Representatives mempertimbangkan untuk mencabut Undang-Undang (UU) larangan perjalanan dan pembatasan berdasarkan agama, Senin (27/1). Upaya itu bertepatan dengan peringatan tahun ketiga pengumuman larangan Muslim yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
"Partai Demokrat terus menentang pelarangan perjalanan Trump yang kejam dan tidak Amerika," ujar Pelosi dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Aljazirah.
Ketua House Nancy Pelosi mengatakan, akan mempertimbangkan pencabutan UU yang akan membatalkan larangan dan mencegah presiden menetapkan pembatasan di masa depan. Pelarangan bisa dilakukan pemerintah ketika dapat memberikan bukti kuat untuk membenarkan pemberlakuan, itu pun harus berkonsultasi dengan Kongres.
"Dalam beberapa minggu mendatang, Komite Kehakiman House akan menandai dan membawa ke lantai No Ban Act untuk melarang diskriminasi agama di sistem imigrasi dan membatasi kemampuan presiden untuk memaksakan pembatasan yang bias dan fanatik seperti itu," kata Pelosi.
Ketua Komite Kehakiman House Jerrold Nadler mengatakan, panelnya akan menyiapkan dalam dua minggu. RUU itu akan diperkenalkan pada bulan April, dan didukung oleh hampir 250 anggota Kongres dan ratusan hak-hak sipil, kepercayaan, keamanan nasional dan organisasi masyarakat dari seluruh penjuru negeri.
RUU itu memiliki peluang untuk disahkan di House yang dipimpin Demokrat. Namun, akan menghadapi pertempuran berat di Senat yang dikuasai Partai Republik, pendukung Trump.
Senator Demokrat Chris Coons menyatakan, keputusan pelarangan dalam kebijakan imigrasi Trump merupakan kekejaman yang disengaja. Larangan Muslim didasarkan pada prasangka, populisme, dan diskriminasi, daripada pertimbangan fakta atau keamanan.
"Seluruh upaya kami dalam memperkenalkan undang-undang ini dan mencoba memajukannya adalah dengan mengatakan Mahkamah Agung salah," kata salah satu penyusun No Ban Act itu.
Larangan perjalanan pertama Trump menargetkan beberapa negara mayoritas Muslim diumumkan tanpa peringatan pada 27 Januari 2017, beberapa hari setelah presiden menjabat. Keputusan itu menciptakan kemarahan dan menyebabkan kekacauan di bandara di seluruh negeri karena ratusan orang ditahan dan ribuan visa yang sebelumnya dikeluarkan dicabut.