Kamis 20 Feb 2020 04:49 WIB

Jalan Terjal Migran Ethiopia Menuju Saudi

Migran Ethiopia bermimpi mencapai Saudi dan hasilkan uang demi keluar dari kemiskinan

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Migran Ethiopia bermimpi mencapai Saudi dan menghasilkan cukup uang untuk keluar dari kemiskinan. Ilustrasi.
Foto: Stephen Morrisn/EPA
Migran Ethiopia bermimpi mencapai Saudi dan menghasilkan cukup uang untuk keluar dari kemiskinan. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, DJIBOUTI - Sabar, kata itu selalu diucapkan lirih oleh Mohammed Eissa (35 tahun) setiap kali ingin mengakhiri perjuangannya menuju Arab Saudi. Dia adalah migran asal Arsi, Ethiopia, yang menantang maut demi memperoleh pekerjaan di Negeri Ka'bah.

Eissa sangat menyadari bahaya dan kerasnya perjalanan yang mesti ia tempuh untuk sampai di Saudi. Sebab dia telah dua kali melakukan hal tersebut.

Baca Juga

Dari desanya, Eissa menumpang mobil bak atau truk hingga ke perbatasan Dijibouti. Setelah itu dia berjalan kaki. Memasuki hari kedua perjalanan, nasib nahas seketika menghampiri. Ia dirampok dan kehilangan sebagian besar uangnya.

Namun perjalanan tak mungkin dihentikan. Selama berhari-hari Eissa hanya bertahan hidup dengan roti dan air. Cuaca terik membakar kulitnya saat dia tiba di sekitar Lac Assal, sebuah danau air asin yang berlokasi di Gurun Danakil di Dijibouti.

Tak ada tumbuhan di sana. Orang-orang bahkan menyebut ada cukup banyak burung jatuh karena tak sanggup menahan panas yang membakar. Tapi Eissa terus berjalan.

Di sekitarnya terdapat puluhan kuburan, tumpukan batu tanpa nisan. Mereka diduga adalah migran yang melakukan perjalanan seperti Eissa. Namun akhirnya menyerah dan meninggal.

Kaki Eissa terus melangkah. Di sakunya terdapat teks tulisan tangan dalam bahasa Oromo. Teks itu menceritakan tentang Nabi Muhammad yang melarikan diri dari rumahnya di Makkah lalu pergi ke Madinah untuk mencari perlindungan dari musuh-musuhnya.

"Saya bergantung pada Allah. Saya harus pergi ke Saudi," kata Eissa. Pada 2011 Eissa berhasil tiba di Saudi. Dia diterima bekerja sebagai buruh pabrik baja dengan upah 25 dolar AS per hari atau sekitar Rp 342 ribu (dengan kurs Rp 13.690 per dolar AS).

Dua tahun kemudian Eissa kembali melakukan perjalanan ke Saudi dari negaranya. Dia diterima bekerja sebagai petugas kebersihan dengan upah 530 dolar AS atau sekitar Rp 7,2 juta sebulan. Namun sebelum memperoleh gajinya, dia kadung ditangkap dan dideportasi otoritas Saudi.

Kali ini dia berharap dapat mengulangi keberhasilannya dan membayar penderitaan yang dialaminya selama perjalanan. Dengan uang yang diharapkan diperoleh di Saudi, Eissa berencana memindahkan keluarganya ke Asella. "Saya akan membangun rumah dan membawa anak-anak saya ke kota untuk belajar ilmu agama serta dunia," ujarnya.

Saat melakakukan perjalanan ke Saudi, Eissa memang tak sendiri. Ada banyak migran yang turut mempertaruhkan hidup sama sepertinya. Namun Mohammad Ibrahim (22 tahun) memiliki kisah lain untuk menuju Saudi. Pertengahan tahun lalu, dia memutuskan pergi dari desanya.

Dorongan Ibrahim merantau ke Saudi bermula saat dia melihat seorang teman di desanya menunggangi sepeda motor baru. Motor tersebut digunakan untuk mengojek. Temannya memperoleh sedikit penghasilan dari pekerjaan itu.

Ibrahim kemudian meminta ibunya agar membelikannya motor. Namun permintaan itu segera ditolak. Perlu menjual sebidang tanah untuk bisa memperoleh sepeda motor. "Saat itulah saya berpikir saya harus pergi ke Saudi," kata dia. 

Berbeda denga Eissa, Ibrahim menggunakan jasa penyelundup. Tentu saja tak gratis. Biaya yang dikutip atau ditarik dari para migran ilegal yang hendak pergi ke Saudi diperkirakan sekitar 300-800 dolar AS.

Tak ada jaminan bahwa perjalanan akan sukses sebab para penyelundup harus memesan kapal untuk menyeberangi laut, baik dari Dijibouti atau Somalia. Mereka mengelola rumah di sepanjang jalan tempat para migran tinggal dan menyediakan transportasi dari kota ke kota dengan truk. Begitu tiba di Saudi, para migran menelepon ke rumah untuk mengirim pembayaran ke agen penyelundup.

Ibrahim mengambil rute alternatif melalui Somalia. Dia melakukan perjalanan hampir 900 kilometer. Jarak itu ditempuh dengan berjalan kaki dan menumpangi berbagai jenis kendaraan hingga akhirnya dia tiba di kota Las Anoud.

Las Anoud terisolasi di gurun Somalia. Kota tersebut adalah pusat perdagangan pengangkut orang Ethiopia ke Yaman. Menurut banyak migran, di sana juga merupakan pusat penyiksaan brutal.

Penyelundup membawa Ibrahim dan migran lainnya ke sebuah komplek. Di sana mereka ditelanjangi dan diikat dengan posisi menggantung. Mereka disiram dengan air dingin kemudian mulai dicambuki.

Selama 12 hari Ibrahim dipenjara. Dia kelaparan dan disiksa. Ibrahim melihat enam migran lain tewas karena dehidrasi dan kelaparan. Tubuh mereka dimakamkan di tanah yang dangkal di dekatnya. "Itu di tengah padang pasir yang luas. Jika Anda berpikir melarikan diri, Anda bahkan tidak tahu harus pergi ke mana," kata Ibrahim.

Pada satu titik, penyelundup menyodorkan telepon kepada Ibrahim. Mereka mendesak Ibrahim meminta uang tebusan. Di seberang telepon ibunya terisak dan berucap 'Tak ada yang lebih penting dari kamu'.

Ibu Ibrahim kemudian menjual tanah milik keluarganya. Dia mendapat uang lebih dari 1.000 dolar AS. Uang itu tentu segera diserahkan kepada penyelundup.

Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), sebanyak 150 ribu migran dari Tanduk Afrika tiba di Yaman pada 2018. Angka itu melonjak 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2019, rata-rata jumlah kedatangan tetap sama.

Mereka bermimpi mencapai Saudi dan menghasilkan cukup uang untuk keluar dari kemiskinan. Para migran itu bersedia bekerja apa saja mulai dari asisten rumah tangga, buruh, pelayan, hingga pengemudi.

Namun meskipun bisa tiba di Saudi, tak ada jaminan mereka dapat tinggal. Otoritas Saudi sering mengusir dan mendeportasi mereka. Selama tiga tahun terakhir, terdapat 9.000 warga Ethiopia yang dideportasi Saudi setiap bulan.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement