Selasa 10 Mar 2020 00:56 WIB

Khousa Melawan Tradisi dan Perjuangkan Hak Perempuan Gaza

Orang-orang di Lingkungannya mulai mendorong anak-anaknya melanjutkan pendidikan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Agus Yulianto
Suasana pengajian  Alquran bagi anak perempuan di Masjid Usman bin Affan, Khan Younis di Jalur Gaza, Palestina.(MOHAMMED SABER/EPA)
Foto: MOHAMMED SABER/EPA
Suasana pengajian Alquran bagi anak perempuan di Masjid Usman bin Affan, Khan Younis di Jalur Gaza, Palestina.(MOHAMMED SABER/EPA)

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Seorang perempuan di Jalur Gaza, Huda Abu Khousa berupaya untuk melawan tradisi yang membatasi perempuan dalam mendapatkan pendidikan. Khousa lahir di sebuah komunitas Badui yang tinggal Al Juron, di Jabalia, di Gaza utara.

Sebagian besar wanita Badui adalah ibu rumah tangga. Mereka memiliki keterbatasan untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan, mereka juga tidak lulus sekolah dasar.

Khousa memiliki keinginan kuat untuk mengenyam pendidikan. Sikapnya tersebut, membuat Khousa berjuang membela hak-haknya agar bisa mengakses pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi.

Ketika berada di sekolah dasar, Khousa merasa terasing dan kerap diejek oleh teman-temannya karena dia memiliki aksen Badui yang kental. Teman sekolah Khousa kesulitan memahami apa yang dia katakan. Seiring dengan berjalannya waktu, Khousa berhasil menghilangkan akses Baduinya sehingga dia bisa berkomunikasi dengan semua orang.

Keinginan Khousa untuk mendapatkan pendidikan kerap menemui jalan terjal. Ayah Khousa tidak mengizinkan putrinya untuk bersekolah. Hal ini membuat Khousa kerap bertengkar dengan ayahnya.

Pada akhirnya, Khousa berhasil meyakinkan ayahnya agar dapat bersekolah, namun dengan satu syarat yakni setiap Selasa dia harus membolos untuk menggembala domba dari fajar hingga matahari terbenam. Selain itu, dia juga diminta untuk menggembalakan domba setiap hari setelah pulang sekolah.

Khousa mengaku, sampai saat ini dia membenci hari Selasa karena dia tidak bisa pergi ke sekolah. Namun, lambat laun dia menemukan cara dan hiburan tersendiri ketika menggembalakan domba-domba milik ayahnya.

"Saya adalah guru dan domba-domba itu adalah murid saya. Kami memiliki banyak kesamaan," ujar Khousa sembari tertawa.

Terlepas dari berbagai macam kesulitan dan rintangan yang dihadapi oleh Khousa, dia tidak pernah bersedih. Ketika duduk di bangku sekolah dasar, dia dikenal sebagai seorang siswi yang murah senyum. Bahkan dia terpilih sebagai penasihat kelas. Dia kerap membantu teman-temannya yang putus sekolah.

"Saya merasa terdorong untuk membantu mereka yang mengalami hal serupa dengan saya," ujar Khousa, dilansir Anadolu Agency, Senin (9/3).

Pada 2010, ayah Khousa didiagnosis menderita kanker. Hal ini membuat ayah dan ibu Khousa pergi ke Mesir untuk berobat. Sebagai anak perempuan tertua, Khousa harus bertanggung jawab atas segala kebutuhan adik-adiknya selama hampir dua tahun. Di tengah beban berat yang dia tanggung, nenek Khousa kerap mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah.

Di tengah persiapan memasuki ujian sekolah menengah, sebuah tradegi lain menimpa keluarga Khousa. Salah satu saudara perempuan Khousa didiagnosis menderita kanker. Dia harus menemani saudara perempuannya ke rumah sakit di Kota Gaza.

Meski keluarganya ditimpa tregedi bertubi-tubi, semangat Khousa untuk mendapatkan pendidikan tidak pernah kendur. Dia berhasil lulus dari sekolah menengah dan berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun, ayah Khousa menolak keinginannya sehingga dia harus menganggur selama satu tahun.

Selama kurun waktu satu tahun tersebut, ayah Khousa berjuang untuk melawan penyakit tumor otak. Sebelum meninggal dunia, ayah Khousa memberikan restu kepada putrinya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ibu Khousa kemudian menjual kalung emas satu-satunya untuk membiayai sekolah putrinya.

Khousa memilih bidang studi pekerjaan sosial di perguruan tinggi. Setelah melewati satu semester, dia mendapatkan beasiswa karena memiliki prestasi yang cemerlang. Beasiswa ini berhasil dia pertahankan hingga lulus kuliah. Selama kuliah, Khousa dikenal cukup menonjol dan lulus dengan predikat terbaik.

"Melihat semua anggota keluarga saya berkumpul dan berfoto pada upacara wisuda adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidup saya. Saya menyadari bahwa saya telah berada di jalan yang benar selama ini," ujar Khousa.

Khousa kini bekerja di sebuah LSM internasional sebagai koordinator proyek. Wanita berusia 24 tahun itu berkomitmen untuk mendukung pemberdayaan perempuan.

Saat ini, Khousa sedang mengerjakan sebuah proposal untuk memberdayakan perempuan di desa Bedouin Om Alnaser yang terpinggirkan. Di desa tersebut, perempuan tidak diizinkan untuk belajar.

Khousa diundang untuk menjadi pembicara di TEDx Palestine 2020. Dalam acara tersebut, dia menceritakan kisahnya dan menginspirasi perempuan muda di seluruh Palestina agar dapat mengenyam pendidikan hingga ke tingkat tinggi.

"Kisah saya telah membuka mata orang lain. Orang-orang di lingkungan saya mulai melihat berbagai hal dengan cara pandang yang berbeda, dan mendorong anak-anak mereka untuk melanjutkan pendidikan," kata Khousa. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement