REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Departemen Kehakiman menuduh jaringan warga Korea Utara (Korut) dan China diam-diam mengembangkan senjata nuklir Korea Utara. Mereka menyalurkan dana ilegal sekitar 2,5 miliar dolar AS melalui ratusan perusahaan front company.
Dakwaan tersebut dibacakan pada Kamis (28/5) lalu di pengadilan federal Washington. Ini diyakini sebagai tindakan penegakan hukum kriminal terbesar yang pernah dilakukan terhadap Korut.
Ada 33 terdakwa termasuk eksekutif Bank Perdagangan Luar Negeri milik Negara Korea Utara, yang pada tahun 2013 dicantumkan ke daftar lembaga yang kena sanksi Departemen Keuangan AS. Para terdakwa ini memfasilitasi pendanaan program nuklir.
Menurut surat dakwaan itu, pejabat bank yang salah satunya bertugas di biro intelijen utama Korea Utara mendirikan kantor cabang di negara-negara di seluruh dunia. Kantor cabang juga didirikan di Thailand, Rusia dan Kuwait.
Mereka menggunakan lebih dari 250 kedok perusahaan untuk memproses pembayaran dalam denominasi dolar AS. Para terdakwa menggunakan berbagai taktik untuk menutupi jejak mereka. Termasuk menggunakan kode saat melakukan percakapan tentang daftar tujuan dan pelanggan palsu pada kontrak dan faktur.
Mereka kemudian menciptakan perusahaan kedok baru setelah bank menangkap asosiasi dengan Korea Utara. Bank-bank secara rutin diperdaya untuk memproses transaksi yang biasanya tidak akan mereka lakukan, hal ini disampaikan jaksa penuntut.
Lima dari terdakwa adalah warga negara China yang mengoperasikan cabang terselubung di China dan Libya. Terdakwa lainnya yang dituntut termasuk individu yang kadang-kadang bertindak sebagai presiden bank atau wakil presiden.
"Melalui dakwaan ini, Amerika Serikat telah menandakan komitmennya untuk menghambat kemampuan Korea Utara untuk secara ilegal mengakses sistem keuangan AS dan (untuk membatasi) kemampuannya untuk menggunakan hasil dari tindakan terlarang untuk meningkatkan sistem senjata pemusnah massal (WMD) ilegal dan program rudal balistik," kata Pengacara Michael Sherwin untuk Distrik Columbia dalam sebuah pernyataan, dilansir dari AP News, Jumat (29/5).
Berdasarkan dakwaan, AS telah membekukan dan menyita sekitar 63 juta dolar AS dari jaringan front company yang dikelola warga Korut sejak 2015.
Surat dakwaan tersebut juga mencerminkan keprihatinan yang sedang berlangsung tentang pelanggaran sanksi terkait dengan Korea Utara. Bulan lalu misalnya, para ahli PBB merekomendasikan daftar hitam 14 kapal karena melanggar sanksi terhadap Korea Utara.
Mereka menuduh negara itu melakukan ekspor batu bara ilegal, impor produk minyak bumi dan melanjutkan serangan siber pada lembaga keuangan dan pertukaran mata uang kripto untuk mendapatkan pendapatan ilegal.