Ahad 07 Jun 2020 20:04 WIB

Pengamat: Demonstrasi di AS Telah Buka Mata Dunia

Amerika saat ini sedang menghadapi dilema menyusul demonstrasi besar di Paman Sam.

Sworang wanita menghadiri aksi demonstrasi di Frankfurt, Jerman, Rabu (3/6).  Aksi simpatik itu dilakukan atas kematian George Floyd, seorang pria kulit hitam yang meninggal setelah ditahan oleh petugas kepolisian Minneapolis
Foto: AP
Sworang wanita menghadiri aksi demonstrasi di Frankfurt, Jerman, Rabu (3/6). Aksi simpatik itu dilakukan atas kematian George Floyd, seorang pria kulit hitam yang meninggal setelah ditahan oleh petugas kepolisian Minneapolis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi demonstrasi yang berkepanjangan di Amerika Serikat (AS) membuka mata dunia bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang memiliki sistem demokrasi sempurna.

Hal tersebut diungkapkan Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah kepada Antara di Bekasi, Minggu, saat menanggapi aksi demonstrasi anti rasisme di Amerika Serikat.

Baca Juga

Kematian warga Afro-Amerika George Floyd menyulut protes anti rasisme yang berujung kericuhan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Kematian George Floyd juga memantik aksi unjuk rasa di beberapa negara seperti di Inggris, Kanada, Australia, maupun Selandia Baru.

"Karena demokrasi itu sendiri adalah sebuah proses yang harus dibangun terus menerus dan lintas generasi lewat program pembangunan yang terstruktur dan komprehensif," ujar Teuku Rezasyah.

Menurutnya, Amerika Serikat yang sejak 1945 menyebut dirinya sebagai adi kuasa dan model terbaik dari demokrasi saat ini menghadapi dilema.

Sebelumnya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj mengatakan demokrasi Amerika tengah sekarat karena menghasilkan pemimpin konservatif yang menyeret demokrasi ke titik anti-klimaks dengan retorika-retorika politik liberal yang selama ini dimusuhi.

"Perubahan haluan yang drastis dari presiden yang diusung Partai Demokrat (Obama) ke presiden yang diusung Partai Republik (Trump) menunjukkan fondasi demokrasi Amerika tidak sekokoh seperti yang didengung-dengungkan," ujar Said Aqil Siroj.

Diskriminasi rasial dan kesenjangan ekonomi telah menjadi cacat bawaan seperti telah disinggung oleh Gunnar Myrdal sejak 1944 dalam bukunya An American Dilemma.

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika ke-45 telah menguak borok demokrasi Amerika yang selama ini tampil bak ‘polisi’ demokrasi dunia.

Kampanye ‘hitam’ Trump di musim kampanye Pilpres AS yang rasis, yang menunjukkan sentimen negatif terhadap imigran kulit warna dan kaum Muslim, telah menabung bara api yang meledak dalam kerusuhan rasial sekarang.

"Demokrasi Amerika akan terus dihantui oleh pertarungan abadi antara ide persamaan hak dan prasangka rasial. Keyakinan Myrdal bahwa pada akhirnya demokrasi akan menang atas rasisme tidak terbukti sampai sekarang. Diskriminasi atas warga Afro-Amerika telah memicu kerusuhan rasial yang terus berulang hingga 11 kali dalam setengah abad sejak 1965," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement