Senin 08 Jun 2020 09:35 WIB

Pasukan Libya Target Rebut Wilayah Timur dari Milisi Haftar

Pasukan Libya yang diakui internasional telah melancarkan serangan ke kota Sirte.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Pertempuran di Libya, ilustrasi
Foto: bbc
Pertempuran di Libya, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang diakui secara internasional berjanji merebut kembali bagian timur negara itu setelah melancarkan serangan untuk merebut kota strategis Sirte dari pasukan komandan militer Khalifa Haftar. Pasukan Nasional Libya (LNA) yang dipimpin Haftar telah menguasai kota tersebut.

Pada Sabtu lalu (6/6), pasukan yang bersekutu dengan GNA melancarkan serangan untuk merebut Sirte, pintu gerbang utama ke ladang minyak utama negara di timur, dari pasukan LNA yang mengambil kota itu pada Januari. Sirte adalah kota kelahiran mantan pemimpin Muammar Gaddafi dan pemukiman besar terakhir sebelum batas tradisional antara barat dan timur Libya.

Baca Juga

"Libya tidak akan selesai tanpa timurnya," ujar Menteri Dalam Negeri Fathi Bashagha dikutip Aljazirah, Senin (8/6).

Haftar, yang meluncurkan kampanye April lalu untuk merebut ibu kota, Tripoli dari GNA, baru-baru ini mengalami kemunduran militer yang signifikan di tangan pasukan GNA yang didukung oleh PBB. Pada Jumat lalu, seorang juru bicara militer pemerintah mengatakan pasukan GNA berada dalam kendali penuh atas kota Tarhuna, sekitar 90 kilometer tenggara Tripoli, dan benteng terakhir Haftar di Libya barat.

Pada Sabtu, Mesir yang mendukung Haftar, meluncurkan inisiatif untuk mengakhiri konflik di Libya. Rencana itu, diungkapkan oleh Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi bersama Haftar pada konferensi pers, termasuk proposal untuk gencatan senjata mulai berlaku mulai Senin.

Misi Dukungan PBB di Libya menyambut inisiatif itu. "Agar pembicaraan dapat dilanjutkan dengan sungguh-sungguh, senjata harus dibungkam. Dalam keterangan itu, UNMSIL menyambut seruan aktor internasional dan regional dalam beberapa hari terakhir untuk penghentian segera permusuhan di Libya," kata misi PBB dalam sebuah pernyataan.

Namun, Misi PBB menyebut pihaknya tetap waspada dengan dampak yang dialami penduduk sipil akibat berlanjutnya siklus kekerasan di Libya. "Gerakan militer baru-baru ini di wilayah sekitar Tripoli dan Tarhouna telah menyebabkan gelombang baru pemindahan dan penderitaan lebih dari 16 ribu warga Libya dalam beberapa hari terakhir," ujar misi PBB.

Libya mengalami kekacauan setelah pembunuhan Khadafi selama pemberontakan 2011. Negara Afrika Utara yang kaya minyak itu terpecah antara dua administrasi pemerintah saingan di negara bagian timur dan barat, masing-masing didukung oleh milisi yang saling bersaing memperebutkan kekuasaan setelah kejatuhan Gaddafi. Haftar sejak tahun lalu berusaha untuk mendapatkan kendali atas barat dengan melawan GNA dalam upaya yang gagal untuk merebut Tripoli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement