Senin 29 Jun 2020 19:07 WIB

Kampanye Boikot Beriklan di Facebook Merambah Eropa

Facebook diminta menghapus pidato kebencian.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Facebook. Ilustrasi
Foto: Foxnews
Facebook. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Kampanye global memboikot beriklan di Facebook telah memperoleh dukungan pesat dari sejumlah perusahaan besar. Mereka siap meningkatkan tekanan hingga perusaahan media sosial itu menghapus pidato kebencian di platform-nya.

Kampanye bertajuk “Stop Hate for Profit” akan mulai menyerukan perusahaan-perusahaan besar di Eropa bergabung dalam gerakan boikot. Hal itu diungkap salah satu inisiator kampanye yakni Kepala Eksekutif Common Sense Media Jim Steyer dalam sebuah wawancara dengan Reuters pada Sabtu (27/6). 

Baca Juga

Dia mengatakan sejak kampanye diluncurkan awal Juni lalu, lebih dari 160 perusahaan, termasuk Verizon Communications dan Unilever Plc, telah menandatangani sebuah komitmen untuk berhenti beriklan di Facebook. “Batas berikutnya adalah tekanan global,” ujar Steyer. 

Co-chief Free Press Jessica Gonzalez mengatakan kampanye juga akan mendesak lebih banyak perusahaan di Amerika Serikat (AS) untuk berpartisipasi dalam boikot. Sama seperti Common Sense, Free Press turut menjadi bagian dari inisiator kampanye Stop Hate for Profit. 

Gonzalez mengungkapkan dia telah menghubungi perusahaan telekomunikasi dan media utama di AS untuk meminta mereka bergabung dalam boikot. Starbucks mengatakan mereka akan menghentikan iklan di semua platform media sosial selagi bekerja dengan organisasi-organisasi hak sipil guna menghentikan penyebaran pidato kebencian. 

Menurut Steyer ,dijangkaunya perusahaan-perusahaan di Negeri Paman Sam menunjukkan tingkat frustrasi yang dirasakan kelompok-kelompok keadilan sosial serta perusahaan pendukung mereka atas kurangnya tindakan Facebook pada misinformasi dan ujaran kebencian. Menurut Steyer dan Gonzalez, Facebook memang telah merespons kampanye yang mereka luncurkan. Pada Jumat pekan lalu, misalnya, Facebook memperkenalkan langkah-langkah baru untuk melarang iklan serta label pidato kebencian dari politisi. Hal itu dilakukan guna menenangkan gerakan boikot. 

Namun, menurut mereka hal itu tak memenuhi tuntutan kampanye. “Kami tidak memerlukan kebijakan satu kali di sana-sini. Kami membutuhkan kebijakan yang komprehensif,” ujar Gonzalez. 

Stop Hate for Profit telah menyampaikan serangkaian tuntutan kepada Facebook. Mereka meliputi proses moderasi terpisah untuk membantu pengguna yang ditargetkan berdasarkan ras dan pengidentifikasi lainnya. Facebook diminta lebih transparan tentang berapa banyak insiden pidato kebencian yang dilaporkan. Selanjutnya platform media sosial itu dituntut berhenti menghasilkan pendapatan iklan dari konten berbahaya.

Free Press, Common Sense, dan kelompok-kelompok hak sipil seperti Color of Change serta the Anti-Defamation League, meluncurkan kampanye boikot setelah kematian pria Afrika-Amerika George Floyd. Dia tewas setelah lehernya dipiting menggunakan lutut oleh polisi kulit putih di Minneapolis.

Kematian Floyd telah memicu reaksi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain mengampanyekan pesan-pesan anti-rasialisme, massa turut membidik patung-patung tokoh yang memiliki sejarah atau riwayat perbudakan. 

Patung mantan presiden AS Theodore Roosevelt, misalnya, dipindahkan dari pelataran American Museum of Natural History di New York. Patung itu dianggap melambangkan kolonialisme dan rasialisme karena menampilkan Roosevelt duduk di atas kuda, sementara penduduk pribumi serta kulit hitam berjalan di sampingnya.

Meskipun kampanye boikot Facebook diperluas hingga ke luar AS, hal itu dianggap tak akan memiliki dampak finansial yang signifikan. Unilever, misalnya, telah berkomitmen berhenti beriklan di Facebook untuk sisa tahun ini.

Richard Greenfield dari LightShed Partners, sebuah perusahaan riset media dan teknologi, mengatakan Unilever hanya menghabiskan 10 persen dari total anggaran iklan 250 juta dolar AS ke Facebook setiap tahunnya. Setiap tahun Facebook menghasilkan 70 miliar dolar dalam penjualan iklan. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement