Kamis 13 Aug 2020 23:00 WIB

PM Thailand Serukan Persatuan untuk Redam Demonstran

Para demonstran meminta Prayuth mundur dari jabatannya.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha.
Foto: AP Photo/Aijaz Rahi
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-ocha, menyerukan persatuan dalam pidato yang disiarkan televisi pada Kamis (13/8). Pernyataan ini muncul di tengah protes anti-pemerintah yang dipimpin mahasiswa hampir setiap hari sejak pertengahan Juli.

“Saya sekarang menghimbau setiap warga negara Thailand, menghubungi Anda secara langsung untuk mengatakan tidak pada politik kebencian dan perpecahan dan pada politik yang menyebarkan penyakit kesukuan kepercayaan versus kepercayaan, atau muda versus tua, atau kaya versus miskin, " Kata Prayuth.

Baca Juga

Para pengunjuk rasa menyerukan pengunduran diri Prayuth yang pertama kali mengambil alih kekuasaan dalam kudeta tahun 2014. Mereka meminta mengakhiri dominasi militer dalam politik.

"Masa depan adalah milik kaum muda ... biarkan kaum muda memimpin dan memberikan kepemimpinan moral untuk menunjukkan kepada kita semua bagaimana mengambil jalan yang sulit untuk berkolaborasi dengan orang-orang yang mungkin tidak setuju dengan kita selama masa-masa sulit nasional," kata Prayuth.

Prayuth sebelumnya mengatakan protes mahasiswa anti-pemerintah dapat menghadapi lebih banyak tindakan hukum. Pihak berwenang harus menyelidiki sosok di balik protes yang telah berlangsung cukup lama itu.

Sejauh ini, dua penyelenggara gerakan antipemerintah telah ditangkap dengan tuduhan melanggar larangan darurat virus korona pada pertemuan besar. Namun, pengacara hak asasi manusia, Anon Nampa, dan aktivis mahasiswa, Panupong Jadnok, yang ditangkap telah dibebaskan dengan jaminan.

Beberapa protes juga telah melanggar peraturan yang berlaku selama beberapa dekade tentang reformasi monarki yang kuat. Menurut Prayuth sikap tersebut dinilai sudah bertindak terlalu jauh.

Thailand memiliki undang-undang "lese majeste" yang ketat yang melarang penghinaan atau pencemaran nama baik raja dan anggota keluarganya. Bagi yang melanggar dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.

Prayuth mengatakan, pemerintah telah menahan diri untuk tidak mengambil tindakan terhadap aktivis mahasiswa yang mungkin telah melanggar undang-undang yang tidak ditentukan di ranah media sosial. Meski, dia tidak menyinggung hukum lese majeste, hanya saja komentar daring yang menyinggung raja semakin berani selama bulan-bulan terakhir.

"Ketika mereka melanggar hukum, ada banyak orang di luar sana yang tidak senang dengan pemerintah karena tidak melakukan apa-apa tentang ini. Pemerintah sangat berhati-hati," kata Prayuth.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement