REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Dewan Transisi Selatan (STC) menyatakan milisi selatan Yaman telah menangguhkan partisipasi dalam konsultasi tentang kesepakatan pembagian kekuasaan bagian selatan atau dikenal sebagai "perjanjian Riyadh", Selasa (25/8). Kesepakatan ini dilakukan untuk mengakhiri konflik antar milisi dan pemerintah di Yaman.
Arab Saudi telah mencoba untuk melaksanakan kesepakatan yang pertama kali diusulkan pada November. Dukungan ini dilakukan dalam upaya mengakhiri konflik di selatan antara milisi dan pemerintah Yaman yang didukung Saudi.
Pemerintah dan milisi STC yang didukung oleh Uni Emirat Arab adalah pasukan utama Yaman dalam koalisi pimpinan Saudi yang memerangi gerakan Houthi yang berpihak pada Iran. Pasukan tersebut berhasil mengusir pemerintah dari Sanaa, ibu kota, lima tahun lalu.
Kesepakatan aliansi Yaman ini telah berada dalam kebuntuan sejak Agustus lalu ketika STC mengambil alih Aden, markas sementara pemerintah. "Perjanjian Riyadh" mengalami banyak kemunduran dan tidak pernah diterapkan, tetapi Saudi membuat dorongan baru pada Juli untuk memperkuat proses tersebut.
STC memberikan tujuh alasan untuk menggugurkan kesepakatan. Salah satu yang disoroti adalah runtuhnya layanan publik di selatan dan eskalasi militer oleh pasukan pemerintah di provinsi Abyan.
Perang Yaman telah mendorong jutaan orang ke ambang kelaparan dan menjadi negara yang membutuhkan tanggapan kemanusiaan terbesar di dunia. Perselisihan di dalam kamp anti-Houthi telah menghambat upaya PBB untuk merundingkan gencatan senjata dalam konflik yang lebih luas.