REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretariat Teknis Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) masih akan melanjutkan penyelidikan terkait penggunaan senjata kimia, yang diduga dilakukan oleh pasukan bersenjata di Suriah meskipun terkendala pandemi Covid-19. Langkah itu diungkapkan Utusan Tinggi Urusan Pelucutan Senjata PBBI zumi Nakamitsu saat menyampaikan laporan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"Saya mendapat laporan bahwa sekretariat teknis OPCW berencana menggelar inspeksi sebanyak dua tahap di Barzah dan Jamrayah pada tahun ini. Proses penyelidikan akan mengikuti situasi pandemi di lapangan," kata Nakamitsu saat menyampaikan laporan di hadapan anggota DK-PBB, lewat pertemuan virtual, Kamis (5/11), yang informasinya diterima di Jakarta, Jumat (6/11).
Barzah dan Jamrayah merupakan dua sarana yang dimiliki dan dikelola oleh Pusat Riset dan Kajian Ilmiah Suriah (SSRC).
Nakamitsu menjelaskan OPCW terus melanjutkan penyelidikan karena hasil inspeksi serta laporan dari berbagai sumber yang dihimpun tim pencari fakta di lapangan belum dapat jadi dasar untuk menyimpulkan bahwa pasukan militer pemerintah atau kelompok bersenjata dari kalangan pemberontak menggunakan senjata kimia dalam pertempuran.
Hasil penyelidikan tim pencari fakta OPCW pada 2018 menemukan jejak senjata kimia di Barzah saat inspeksi tahap ketiga dilangsungkan pada 2018. Namun, pemerintah Suriah belum memberikan penjelasan atau informasi yang dibutuhkan oleh tim pencari fakta terkait temuan itu, kata Nakamitsu.
"Adanya berbagai temuan yang tidak sama dengan laporan pemerintah, inkonsistensi, dan perbedaan yang belum diselesaikan, sekretariat teknis OPCW menilai laporan yang diterbitkan oleh Pemerintah Suriah tidak dapat disebut akurat dan lengkap sebagaimana merujuk pada Konvensi Senjata Kimia Dunia (CWC)," ia menerangkan.
Penyelidikan terhadap pemakaian senjata kimia telah dilakukan PBB bersama OPCW sejak 2014 dan belum lama ini sesi konsultasi digelar antara pihak penyelidik bersama pemerintah Suriah pada 22 September-3 Oktober.
Sesi konsultasi itu membahas berbagai macam informasi dan perbedaan temuan yang dilaporkan oleh tim pencari fakta dan otoritas di Suriah.
Meskipun terkendala oleh kurangnya transparansi dari pihak pemerintah, Nakamitsu menegaskan pihaknya akan tetap melanjutkan penyelidikan dan mendorong otoritas di Suriah ikut terlibat dalam proses pemeriksaan.
"Siapa pun yang menggunakan senjata kimia harus diketahui dan bertanggung jawab," ujar dia.
Setidaknya ada beberapa pertempuran di Suriah yang diyakini melibatkan bahan kimia sebagai senjata, khususnya saat insiden di Aleppo pada 24 November 2018.
Pemerintah Suriah saat itu menuduh kelompok pemberontak menggunakan gas beracun sehingga menyebabkan 50 warga sipil kesulitan bernapas dan mengalami masalah penglihatan. Akan tetapi, tuduhan itu dibantah oleh kelompok pemberontak yang mengatakan pihaknyatidak memiliki bahan semacam itu.
Sebelumnya, berbagai laporan dari hasil penyelidikan bersama OPCW dan PBB menunjukkan bahwa pemerintah Suriah bertanggung jawab atas dua serangan gas beracun pada 2015 dan mencurigai kelompok IS menggunakan Gas Mustard -- senyawa kimia yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan saluran pernapasan -- pada tahun yang sama.
Penggunaan senjata kimia telah dilarang dalam seluruh pertempuran dan konflik bersenjata sejak 1925 lewat peresmian Protokol Jenewa. Namun baru pada 1997, Konvensi Senjata Kimia (CWC), pakta yang melarang penggunaan senjata kimia, ditandatangani oleh ratusan negara anggota dan mulai efektif berlaku.
Untuk memastikan negara-negara anggota tunduk pada aturan, OPCW pun dibentuk secara resmi pada 29 April 1997. OPCW saat ini berpusat di Den Haag, Belanda, dan beranggotakan 189 negara --mewakili kurang lebih 98 persen total penduduk dunia.