Rabu 16 Dec 2020 13:48 WIB

Empat Tentara Azeri Dituduh Mutilasi Jasad Tentara Armenia

Pemerintah Azerbaijan telah menangkap empat tentara terkait mutilasi tersebut.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Teguh Firmansyah
Foto selebaran yang disediakan oleh Kementerian Pertahanan Armenia pada 30 September 2020 di situs resminya menunjukkan tentara Armenia selama bentrokan militer dengan tentara Azeri di sepanjang garis kontak Republik Nagorno-Karabakh yang memproklamirkan diri (juga dikenal sebagai Artsakh). Bentrokan bersenjata meletus pada 27 September 2020 dalam konflik teritorial yang membara antara Azerbaijan dan Armenia atas wilayah Nagorno-Karabakh di sepanjang garis kontak Republik Nagorno-Karabakh yang memproklamirkan diri.
Foto: EPA-EFE/ARMENIAN DEFENCE MINISTRY
Foto selebaran yang disediakan oleh Kementerian Pertahanan Armenia pada 30 September 2020 di situs resminya menunjukkan tentara Armenia selama bentrokan militer dengan tentara Azeri di sepanjang garis kontak Republik Nagorno-Karabakh yang memproklamirkan diri (juga dikenal sebagai Artsakh). Bentrokan bersenjata meletus pada 27 September 2020 dalam konflik teritorial yang membara antara Azerbaijan dan Armenia atas wilayah Nagorno-Karabakh di sepanjang garis kontak Republik Nagorno-Karabakh yang memproklamirkan diri.

REPUBLIKA.CO.ID, BAKU -- Pemerintah Azerbaijan dikabarkan menangkap empat tentaranya, atas tuduhan kejahatan perang saat konflik dengan Armenia. Kejahatan yang dimaksud adalah, ketika Rashad Aliyev dan Gardashkhan Abisov dituduh memutilasi jasad tentara Armenia di wilayah Zangilan, yang berbatasan dengan daerah kantong, setelah video tindakan tersebut ramai di media sosial.

Menanggapi hal tersebut, pejabat senior Azerbaijan mengaku kecewa atas tindakan tersebut dan mengisyaratkan adanya tindak lanjut dari proses itu. Lebih lanjut, dalam sebuah pernyataan dari jaksa agung Azerbaijan di Baku, dua tentara lainnya, Arzu Huseynov dan Umid Agayev, juga ditangkap karena menodai kuburan di sebuah pemakaman Armenia di desa Madatli, Khojavend. Insiden itu juga direkam dalam video dan diedarkan secara daring.

Baca Juga

Penasihat senior presiden Azerbaijan, Hikmet Hajiyev mengatakan, pihaknya telah mengantisipasi kemungkinan lebih banyak penangkapan tentara Azerbaijan lain yang dituduh melakukan kejahatan perang. Menurutnya, pernyataan tersebut menunjukkan tekad dari kejaksaan dan komitmen Pemerintah Azerbaijan serta masyarakatnya.

“Itu tidak bisa diterima, saya mengutuknya. Itu di luar budaya Azerbaijan. Siapapun yang melakukannya akan dihukum berat menurut hukum Azerbaijan,” katanya dikutip dari The National, Rabu (16/12). Meski demikian, Hajiyev menegaskan video yang beredar itu masih perlu diselidiki.

Secara terpisah, pembela hak asasi manusia dan ketua Hak Asasi Manusia Baku, Rasul Jafarov juga mengaku terkejut dengan kabar tersebut, termasuk dari langkah pemerintah untuk menangkap tentara itu pascamengalami gelombang kedua euforia nasionalis. Azerbaijan dianggap memenangkan pertempurannya dengan Armenia.

“Mereka membuka kasus pidana tiga pekan lalu ketika rekaman pertama disebarluaskan. Itu adalah langkah yang tidak terduga, tetapi pada saat yang sama, kami mengevaluasinya sebagai langkah positif. Seperti yang saya katakan, kami tidak mengharapkan mereka melakukannya, "katanya.

Ia menilai, jika menjadi terdakwa dan terbukti bersalah, dugaan pelanggaran itu bisa membawa para tersangka pada hukuman 10 tahun penjara. "Mereka [pemerintah Azerbaijan] ingin menunjukkan bahwa ini adalah kasus-kasus yang terisolasi ... [bahwa] tidak ada hubungannya dengan kepemimpinan tentara dan kepemimpinan negara," katanya.

Sebagai informasi, penangkapan tersebut terjadi beberapa hari setelah Amnesty Internasional menerbitkan laporan yang memverifikasi 22 video. Laporan itu, menggambarkan eksekusi yang dilakukan di luar hukum. Termasuk, penganiayaan perang terhadap tawanan dan penodaan mayat. Kejahatan itu telah diatur di bawah Konvensi Jenewa.

Walaupun saat ini tuduhan kejahatan perang mengarah ke Azerbaijan, Organisasi Internasional justru menuduh kedua belah pihak karena telah melanggar hukum humaniter internasional selama konflik enam pekan itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement