Selasa 05 Jan 2021 10:10 WIB

Muslim Kini Hadapi Turkofobia, Apa Itu?

Di beberapa negara Eropa, selain Islamofobia, kaum Muslim juga menghadapi Turkofobia

Rep: Anadolu/Sabah Daily/ Red: Elba Damhuri
Sekelompok wanita berunjuk rasa di Prancis menuntut dihentikannya Islamofobia. Sekjen PBB Antonio Guterres menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya Islamofobia. Ilustrasi.
Foto:

Iklim politik yang toleran dengan dalih kebebasan berbicara telah membantu simpatisan sayap kanan dengan kecenderungan kekerasan memperluas dukungan mereka.

"Dalam lima sampai enam tahun terakhir, sayangnya, kebencian terhadap Turki dan Muslim telah mencapai titik-titik yang menakutkan," kata Bülent Bilgi, ketua Persatuan Demokrat Internasional (UID).

Menurut Bilgi, selain meningkatnya jumlah pengungsi dan pendatang, memburuknya kondisi ekonomi saat pandemi juga memicu kebencian anti Muslim di Eropa.

“Dengan dugaan penyalahgunaan bantuan negara yang diberikan dalam pandemi, polisi bertopeng menggerebek masjid," katanya.

Islamofobia sedang disamarkan sebagai sekularisme di Prancis, kata seorang pemimpin oposisi Prancis dalam kritik terhadap pemerintah yang dipimpin Emmanuel Macron, yang baru-baru ini mendapat kecaman karena kebijakan terhadap Muslim Prancis.

"Ada kebencian terhadap Muslim dengan kedok sekularisme di negara ini. Sekularisme tidak berarti membenci sebuah agama," Jean-Luc Melenchon, pemimpin gerakan sayap kiri France Unbowed dan seorang anggota parlemen dari Bouches-du-Rhône.

Pernyataannya muncul setelah keluarnya ucapan anti-Islam baru-baru ini oleh Macron dan politisi lainnya. Macron menggambarkan Islam sebagai "agama dalam krisis" dan mengumumkan rencana hukum yang lebih ketat untuk menangani "separatisme" Islam di Prancis.

"Ada upaya untuk membentuk Islam Prancis, Islam Jerman. Kami, tentu saja, menentang upaya ini. Tidak pernah ada Islam Arab atau Turki sehingga tidak mungkin ada Islam Eropa juga," kata Melenchon, yang mencatat hanya ada satu agama Islam.

Dengan dalih "Islamisasi" di negara tempat mereka tinggal, teroris rasis beralih dari serangan terhadap masjid menjadi pembunuhan massal. 

Anders Behring Breivik, yang membantai 77 orang pada Juli 2011 di Norwegia, dipandang sebagai inspirasi untuk lebih banyak serangan berikutnya. 

Empat tahun kemudian, Anton Lundin Pettersson, yang memiliki pandangan serupa dengan Breivik, membunuh empat siswa berlatar belakang imigran di Swedia. 

Pada 2016, 10 orang tewas di Munchen, Jerman, dalam aksi terorisme rasis lainnya. Pada 19 Februari 2020, di kota Jerman Hanau, Tobias Rathjen, seorang teroris yang menyimpan pandangan rasis, menembak mati sembilan orang dari latar belakang imigran, termasuk lima warga negara Turki, sebelum bunuh diri. 

Serangan Hanau memicu perdebatan tentang keseriusan ancaman teror sayap kanan yang sering diabaikan oleh pihak berwenang. Itu adalah salah satu tindakan terorisme terburuk dengan motif rasis dalam ingatan baru-baru ini.

Tokoh Turki di kota Bruhl Jerman, Aydın Parmaksızoğlu, menggarisbawahi bahwa selalu ada fobia terhadap kata-kata "Turki" dan "Islam" di Eropa dan Jerman.

"Sampai-sampai otoritas Jerman terus-menerus memantau asosiasi dengan kata-kata, Turki dan Islam. Ini membuktikan fobia terhadap Turki dan Islam,” katanya.

Pejabat Turki, termasuk Presiden Recep Tayyip Erdoğan, telah sering mendesak para pembuat keputusan dan politisi Eropa untuk mengambil sikap melawan rasisme dan jenis diskriminasi lain yang telah mengancam kehidupan jutaan orang.

sumber : Anadolu/Daily Sabah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement