Empat dari anak-anak tersebut masih ditahan, termasuk seorang anak berusia 16 tahun dengan kondisi medis yang serius, kata HRW dan BIRD yang berbasis di New York. Dalam sebuah pernyataan pada Rabu (10/3), jaksa agung Bahrain mengarahkan penuntut umum untuk mengadopsi tujuan dari undang-undang tentang keadilan korektif untuk anak-anak dan perlindungan mereka yang dikeluarkan pada 18 Februari dan dimaksudkan untuk berlaku enam bulan kemudian.
Perwakilan pemerintah menambahkan bahwa ketika berurusan dengan orang-orang yang berusia di bawah 18 tahun, keputusan sistem peradilan pidana di negara Teluk Arab itu mempertimbangkan "kepentingan terbaik setiap anak, serta rehabilitasi dan tempat mereka di masyarakat".
Monarki Muslim Sunni Bahrain, yang didukung Amerika Serikat, menggunakan kekuatan untuk menekan pemberontakan 2011, yang sebagian besar dipimpin oleh anggota mayoritas Muslim Syiah, dan menindak keras kerusuhan sporadis dan perbedaan pendapat di kemudian hari. Bahrain adalah satu-satunya negara Teluk yang mengalami salah satu pemberontakan "Musim Semi Arab" satu dekade lalu.
Pengadilan massal digelar dan ribuan orang dipenjarakan, sementara banyak orang melarikan diri ke luar negeri. Selanjutnya, terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan, yang menjadi sasaran serangan bom.
Kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia, termasuk Amnesty International, mengkritik kurangnya pengadilan independen dan menuduh pasukan keamanan Bahrain melakukan penyiksaan dan berbagai bentuk perlakuan buruk lainnya tanpa hukuman. Pemerintah membantah tuduhan tersebut.