Kamis 11 Mar 2021 18:08 WIB

Fukushima Ingin Menjadi Simbol Energi Hijau

Fukushima menarget 100 persen energi terbarukan

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Peristiwa nuklir Fukushima Jepang
Foto: citypictures.org
Peristiwa nuklir Fukushima Jepang

REPUBLIKA.CO.ID, NAMIE -- Bencana gempa dan tsunami yang menyebabkan kehancuran nuklir di Fukushima telah berlangsung selama satu dekade. Pemerintah Fukushima berharap, prefektur tersebut dapat keluar dari bayang-bayang bencana dan menjadi simbol energi hijau. 

Gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada 11 Maret 2011 telah melumpuhkan pembangkit listrik tenaga nuklir Dai-ichi. Setelah bencana itu, aktivasi nuklir di Jepang mulai menjadi perdebatan di tengah terbatasnya sumber daya. 

Baca Juga

Pemerintah memberikan dukungan sebesar 250 miliar yen untuk mengedepankan energi hijau di Fukushima. Melalui bantuan tersebut, Fukushima membangun pembangkit listrik tenaga surya skala komersial terbesar di Jepang. Fukushima juga menjadi rumah bagi salah satu pabrik hidrogen hijau terbesar di dunia yaitu Fukushima Hydrogen Energy Research Field.

"Fukushima perlu mencapai 100 persen energi terbarukan, karena kami tidak akan bergantung pada energi nuklir," ujar Uchibori.

Pabrik hidrogen yang dikembangkan oleh Toshiba dibuka pada tahun lalu di Namie, sebuah kota yang dievakuasi setelah terjadi bencana. Pabrik hidrogen tersebut menggunakan pembangkit tenaga surya sebesar 20 megawatt. Uchibori mengatakan, jalur transmisi baru pada akhirnya akan menambah 360 MW tenaga angin, dan menempatkan Fukushima untuk mencapai energi terbarukan 100 persen pada 2040. 

“Dengan menjadikan Namie kota hidrogen, kami ingin mendukung ekonomi regional dan membuat simbol baru,” kata Uchibori.

Uchibori mengatakan, pemerintah daerah ingin memulihkan infrastruktur, mengembangkan proyek baru, dan menarik warga. Pekan lalu, presiden Toyota Motor Corp berkunjung ke Fukushima dan menjanjikan proyek percontohan baru di Namie. Namun beberapa warga setempat mengatakan, mereka tidak membutuhkan proyek energi hijau melainkan dukungan infrastruktur yang menunjang kehidupan sehari-hari seperti rumah sakit dan panti jompo.

“Namie membutuhkan infrastruktur yang lebih mendasar seperti rumah sakit yang buka selama 24 jam dan panti jompo,” kata seorang pria berusia 27 tahun yang tidak mau disebutkan namanya.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement