REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Penduduk Hong Kong bergegas pada Kamis (24/6) dini hari untuk mengambil salinan edisi terakhir surat kabar pro-demokrasi Apple Daily. Surat kabar tersebut terpaksa ditutup setelah 26 tahun menjadi target tindakan keras keamanan nasional.
"Saya tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa malam terakhir," kata kata mantan pekerja medis, Tse.
Tse rela mengantre di luar penjual koran di distrik kelas pekerja Mong Kok pada Kamis pagi. "Saya berharap para wartawan dapat tetap setia pada keyakinan mereka dan terus bekerja keras," ujarnya.
Untuk edisi akhir itu, Apple Daily mencetak satu juta kopi. Jumlah ini 10 kali lipat lebih banyak dari biasanya.
Penutupan itu merupakan pukulan paling serius bagi kebebasan media Hong Kong dan berpotensi menghancurkan reputasinya sebagai pusat media yang terbuka dan bebas. Kondisi ini terjadi setelah Beijing memberlakukan undang-undang keamanan di pusat keuangan global tahun lalu.
Para pengkritik mengatakan undang-undang itu digunakan untuk menghancurkan perbedaan pendapat di bekas jajahan Inggris tersebut. Pejabat Hong Kong dan daratan telah berulang kali mengatakan kebebasan media dihormati tetapi tidak mutlak.
Pekan lalu, 500 petugas menggerebek markas surat kabar itu. Rekaman video menunjukkan pihak berwenang memilah-milah catatan wartawan dan materi jurnalistik lainnya dalam adegan yang mendapat kecaman internasional.
Sebanyak lima eksekutif ditangkap dan dua pemimpin redaksi didakwa dengan konspirasi untuk melakukan kolusi dengan negara asing dan ditolak jaminan. Pihak berwenang juga membekukan aset perusahaan yang terkait dengan Apple Daily, yang menurut eksekutif senior membuatnya tidak dapat beroperasi.