REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO -- Departemen Kehakiman AS mengumumkan kebijakan baru yang membatasi jaksa agung untuk memperoleh informasi dari jurnalis saat mereka mengumpulkan berita.
Kebijakan baru ini membatasi “proses wajib”, yaitu proses yang dilakukan oleh seorang saksi untuk memaksa kesaksiannya.
Dalam sebuah pernyataan Senin, Jaksa Agung Merrick Garland mengatakan: "Larangan baru ini berlaku untuk proses hukum wajib yang dikeluarkan kepada wartawan secara langsung, kepada penerbit mereka, dan penyedia layanan pihak ketiga dari hal-hal tersebut di atas."
Baru-baru ini terungkap bahwa pemerintahan Trump telah menyita catatan beberapa wartawan di CNN, The New York Times, dan Washington Post.
Penasihat hukum untuk setidaknya dua dari outlet tersebut mengetahui penyitaan tetapi terikat oleh hukum, "perintah pembungkaman," untuk tidak mengungkapkannya kepada publik atau bahkan kepada karyawan mereka sendiri.
Setelah pengungkapan itu, Presiden Joe Biden bersumpah untuk mengakhiri praktik penyitaan catatan semacam itu. Garland mengatakan pembatasan hanya berlaku untuk pengumpulan berita, namun tidak berlaku jika jurnalis diselidiki untuk suatu kasus diluar pengumpulan berita.
Kalangan pers ingin aturan itu dibuat permanen dan ditandatangani menjadi undang-undang sehingga pemerintahan tidak dapat bisa melakukan penyitaan catatan. Tetapi untuk saat ini, outlet berita gembira atas pengumuman tersebut.
"Jaksa Agung telah mengambil langkah penting," kata Fred Ryan, penerbit Washington Post, "untuk memastikan pelanggaran di masa lalu tidak terulang dan kebebasan pers dilindungi."