REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara Ri Thae-song melalui media pemerintah KCNA pada Jumat (24/9) menyatakan, seruan Korea Selatan untuk menyatakan secara resmi berakhirnya Perang Korea adalah prematur. Menurutnya, tidak ada jaminan itu akan mengarah pada penarikan kebijakan bermusuhan Washington terhadap Pyongyang.
"Tidak ada yang akan berubah selama keadaan politik di sekitar DPRK tetap tidak berubah dan kebijakan permusuhan AS tidak diubah, meskipun penghentian perang dinyatakan ratusan kali," kata Ri menggunakan nama resmi Korea Utara, Partai Demokrat Republik Rakyat Korea.
Ri menyatakan, AS telah melakukan standar ganda dan menerapkan kebijakan bermusuhan kepada Korea Utara. Dia meminta untuk menarik itu semua dalam menstabilkan situasi semenanjung Korea dan memastikan perdamaian di atasnya.
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in pada Selasa (21/9) dalam pidatonya di hadapan sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengulangi seruan untuk diakhirinya secara resmi Perang Korea. Dia mengusulkan agar kedua Korea dengan Amerika Serikat (AS) atau dengan AS dan Cina, membuat deklarasi semacam itu.
Kedua Korea secara teknis masih berperang setelah konflik 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata bukan perjanjian damai. Pada hari yang sama, Presiden Joe Biden berpidato di hadapan Majelis Umum juga.
Dia mengatakan AS ingin diplomasi berkelanjutan untuk menyelesaikan krisis seputar program nuklir dan rudal balistik Korea Utara. Korea Utara telah menolak tawaran untuk terlibat dalam dialog.
Pekan lalu, uji coba rudal balistik dilakukan Korea Utara dan Korea Selatan. Tembakan terakhir ini dikhawatirkan akan memicu perlombaan senjata kedua negara.