REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Mantan pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri Inggris Raphael Marshall mengatakan evakuasi yang dilakukan pemerintah Inggris terhadap masyarakat rentan di Afghanistan usai Taliban merebut kekuasaan pada bulan Agustus lalu kacau.
Dalam bukti tertulis yang disampaikan Komite Hubungan Luar Negeri Parlemen, Selasa (7/12) Marshall mengatakan proses untuk memprioritaskan siapa yang harus dievakuasi 'acak dan disfungsional'. Ia memperkirakan 75 ribu hingga 150 ribu orang yang mengajukan permintaan evakuasi tapi kurang dari 5 persen yang menerima bantuan. "Jelas beberapa yang tertinggal telah dibunuh oleh Taliban," tulisnya.
Kekurangan staf diperparah pratik kerja dari rumah pandemi Covid-19. Tentara yang dibawa untuk memberikan bantuan harus berbagi satu komputer delapan orang. "Email yang masuk untuk meminta bantuan direspons otomatis 'telah dicatat'. Biasanya pernyataan itu palsu. Terdapat ribuan kasus email yang sebenarnya tidak terbaca," katanya.
Bukti ini dibantah mantan Menteri Luar Negeri Dominic Raab. Pemerintah Inggris berulang kali mempertahankan operasi evakuasi mereka. Raab yang sedang berlibur saat Taliban merebut Kabul dipindahkan dari Kementerian Luar Negeri ke Kementerian Kehakiman. Di televisi ia masih mengaku melakukan yang terbaik.
"Kami melakukan semua yang kami bisa, mengevakuasi 15 ribu orang dalam dua pekan," katanya.
Raab membantah tuduhan Marshall yang menyatakan ia terlalu lamban dalam merespons permintaan untuk memberi persetujuan. "Kami ingin memastikan kami memiliki fakta-fakta dasar untuk membuat keputusan yang jelas," kata Raab yang juga deputi perdana menteri.