REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel Naftali Bennett melakukan kunjungan pertama ke Uni Emirat Arab (UEA) pada Ahad (12/12), sejak kedua negara memutuskan untuk menormalkan hubungan tahun lalu. Perjalanan itu dilakukan di tengah ketegangan regional, ketika kekuatan dunia mencoba memperbarui kesepakatan nuklir dengan Iran.
"Saya akan pergi hari ini ke Uni Emirat Arab, dalam kunjungan pertama perdana menteri Israel," kata Bennett.
Bennett dijadwalkan bertemu Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan pada Senin (13/12). Kantor Bennett mengatakan, kedua pemimpin akan membahas hubungan yang semakin dalam, dengan penekanan pada masalah ekonomi. Hubungan ekonomi kedua negara akan berkontribusi pada kemakmuran, kesejahteraan dan memperkuat stabilitas antara negara.
Tahun lalu, UEA bersama dengan Bahrain, Sudan dan Maroko menormalkan hubungan dengan Israel di bawah inisiatif yang disponsori Amerika Serikat (AS), yaitu Kesepakatan Abraham atau Abraham Accord. Bennett akan menjadi perdana menteri Israel pertama yang berkunjung ke salah satu dari empat negara Arab tersebut.
Abu Dhabi mengatakan, kesepakatan normalisasi itu adalah upaya untuk mencegah pencaplokan yang direncanakan Tel Aviv atas Tepi Barat yang diduduki. Namun para kritikus percaya bahwa, upaya normalisasi telah dilakukan selama bertahun-tahun. Karena pejabat Israel telah melakukan kunjungan resmi, dan menghadiri konferensi ke UEA.
Pada Juli lalu, UEA membuka kedutaan besar di Israel yang berlokasi di gedung Bursa Efek, di Tel Aviv. Pada Juni, Israel telah terlebih dahulu membuka kedutaan besar di Abu Dhabi.
Sebelumnya UEA tidak memiliki hubungan diplomatik atau hubungan lain dengan negara pendudukan. Setelah melakukan normalisasi hubungan, UEA dan Israel sepakat melakukan perjanjian bilateral terkait investasi, pariwisata, penerbangan langsung, keamanan, serta telekomunikasi.
Arab Saudi mengumumkan amandemen aturan yang mengatur impor dari negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC). Hal ini merupakan upaya untuk menantang status UEA sebagai pusat perdagangan, dan bisnis di kawasan itu. Dengan perubahan aturan tersebut, maka barang-barang yang dibuat di zona bebas di dalam UEA atau dengan keterlibatan Israel akan terpengaruh.